My Blog


Jumat, 28 Desember 2012

Review Jurnal Ekonomi Koperasi (20)

Review 20 : 
Kesimpulan

Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia Pengelola Koperas Terhadap Perkembangan Koperasi Unit Desa di Kabupaten Nias

Oleh :
Atozisochi Daeli, Amru Nasution, Matias Siagian
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2

1.      Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilakukan membuktikan beberapa hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Di antaranya adalah adanya beberapa temuan mengenai faktor-faktor yang terbukti secara signifikan sebagai faktor dari perkembangan koperasi unit desa, yaitu dapat disimpulkan sebagai berikut :
1)   Dari hasil analisis tabel silang dibuktikan bahwa variabel yang terbukti secara signifikan memberikan variasi terhadap perkembangan koperasi unit desa di Kabupaten Nias adalah variabel dukungan pemerintah terhadap KUD, dan variabel dukungan institusi swasta terhadap KUD. Sedangkan variabel yang sebelumnya diperkirakan sebagai salah satu faktor yang paling dominan, yakni kualitas sumber daya manusia pengelola, melalui analisis tabel silang tidak terbukti secara signifikan. Variabel lainnya juga tidak terbukti secara signifikan adalah dukungan perusahaan pribadi dan dukungan anggota koperasi sedangkan dari analisi korelasi bivariant terbukti ada tiga variabel yang secara signifikan memiliki hubungan yang positif dengan perkembangan koperasi unit desa, yaitu variabel dukungan sumber daya manusia, variabel dukungan pemerintah, variabel dukungan swasta.
2)      Dari analisi korelasi parsial, terbukti bahwa masing-masing variabel yang sebelumnya secara biviriant memiliki hubungan positif yang siginifikan, setelah dikontrol oleh variabel lainnya derajat hubungan dan signifikannya jauh berkurang. Artinya tidak ada satu variabel pun yang memiliki hubungan langsung dengan variabel perkembangan koperasi unit desa. Dalam hal ini model hubungan teoritis yang telah diajukan sebelumnya yang menempatkan variabel kualitas sumber daya manusia pengelola sebagai veriabel bebas dan variabel dukungan pemerintah, dukungan institusi swasta, dukungan perusahaan pribadi dan dukungan anggota sebagai variabel antara terhadap variabel perkembangan koperasi unit desa menjadi jelas atau terbukti.
3)      Secara teoritis temuan penelitian ini semakin memperkuat dukungan terhadap masih kuatnya peran pemerintah dan institusi non pemerintah dalam menentukan perkembangan koperasi, khususnya koperasi unit desa.

2.      Saran
Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pelaku/stakeholder bagi upaya pengembangan dan kemajuan koperasi, seperti misalnya :
1)    Dalam upaya meningkatkan perkembangan KUD sangat perlu pemerintah membuat model pembinaan kepada masyarakat koperasi guna memberikan nasihat, petunjuk dan bantuan tentang pemecahan masalah dan pengembangan potensi koperasi dengan target pemantapan, pembukuan, kelembagaan, bidang usaha, permodalan, pemasaran, dan peningkatan sumber daya manusia menuju kemandirian koperasi yang maju.
2)      Menjalin kerja sama dengan pemerintah dareah pendidikan dan latiha  di bidang manajemen, kewirausahaan, permodalan, dan bidang usaha lainnya untuk meningkatkan perkembangan KUD.
3)  Menjalin kerjasama dengan perusahaan besar dibidang pendidikan dan latihan, bidang perdmodalan dan pemasaran untuk meningkatkan perkembangan KUD menuju kemandirian koperasi itu sendiri.
4)   Mengembangkan manajemen yang profesional dengan menempatkan oran-orang yang bekerja paruh waktu membangun koperasi dengan pemberian insentif yang sepadan bagi pengelolanya.

Nama               : Ani Puji Lestari        
NPM/ Kelas    : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan    : Ekonomi/Akuntansi
Tahun              : 2012

Review Jurnal Ekonomi Koperasi (19)

Review 19 : 
Pembahasan

Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia Pengelola Koperas Terhadap Perkembangan Koperasi Unit Desa di Kabupaten Nias

Oleh :
Atozisochi Daeli, Amru Nasution, Matias Siagian
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2

1.      Pembahasan
Menurut Anoraga dan H. Djoko Sudantoko (2002:1), Koperasi berasal dari kata “co” yang berarti bersama, dan “operation” yang mengandung makna bekerja. Jadi, secara leksikologis koperasi bermakna sebagai suatu perkumpulan kerjasama yang beranggotakan orang-orang maupun badan-badan, dimana ia memberikan kebebasan untuk keluar dan masuk sebagai anggotanya.
Pengertian Koperasi menurut Undang-Undang Koperasi No. 25 tahun 1992 adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan pronsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asa kekeluargaan. Dalam undang-undang ini diatur prinsip-prinsip koperasi, yaitu:
1)      Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2)      Pengeolaan dilakukan secara demokratis
3)      Pembangian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota
4)      Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
5)      Kemandirian
6)      Pendidikan perkoperasian
7)      Kerjasama antarkoperasi
Di Indonesia ada dua bentuk koperasi, yaitu Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi primer adalah koperasi yang anggotanya adalah orang-orang yang memiliki kesamaan kepentingan ekonomi dan ia melaksanakan kegiatan usahanya dengan langsung melayani para anggotanya. Contoh koperasi primer ini adalah Koperasi Unit Desa. Sedangkan koperasi sekunder adalah semua koperasi yang didirikan dan beranggotakan koperasi primer dan atau koperasi sekunder. Dalam hal koperasi mendirikan koperasi sekunder dalam berbagai tingkatan seperti yang selama ini dikenal sebagai pusat, gabungan, dan induk, maka jumlah tingkatan maupun penamaannya diatur sendiri oleh koperasi yang bersangkutan. Koperasi sekunder ini misalnya adalah pusat atau induk KUD (PUSKUD/INKUD).
Untuk konteks Indonesia, pembagian koperasi didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat. Secara umum ada lima klasifikasi koperasi, yakni :
1)      Koperasi Konsumsi
2)      Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Kredit
3)      Koperasi Produksi
4)      Koperasi Jasa
5)      Koperasi Serba Usaha
Perdebatan tentang kemampuan koperasi sebagai salah satu institusi yang mampu mendongrak keterpurukan perekonomian rakyat, masih tetap berlangsung hingga saat ini. Perdebatan itu melibatkan banyak pihak, baik dari pemerhati maupun praktisi koperasi di Indonesia.
Terlepas dari perdebatan yang terjadi, keberadaan dan kewajiban untuk pembangunan koperasi di Indonesia sudah merupakan amanat konstitusi dalam pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak ada satu alasan yang cukup kuat untuk mengabaikan keberadaan dan perkembangan koperasi. Disamping itu, perkembangan koperasi di Indonesia secara kuantitas sebenarnya cukup menggembirakan, seperti terlihat pada data Rencana Strategis Pembangunan Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menegah (2000), bahwa pada periode 1997-1999 jumlah koperasi yang berbadan hukum dan aktif, dan jumlah anggota koperasi yang aktif meningkat, begitu juga dengan aset koperasi juga mengalami peningkatan.
Beberapa tahun belakangan ini, terutama pada masa era reformasi dan diberlakukannya otonomi daerah, perhatian terhadap gerakan pembangunan koperasi semakin tinggi. Salah satu contoh adalah konsep ekonomi kerakyatan dijadikan sebagai argumentasi utama dalam Program Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Kecil Menegah pada tahun anggaran 2001 (Inventarisasi Mekanisme Pengelolaan Koperasi dan UKM Berdasarkan Potensi dan Peluang Usaha di Kabupaten Nias Tahun 2001).
Hingga 31 Desember 2003, tercatat jumlah seluruh koperasi yang ada di Kabupaten Nias sebanyak 318 unit yang terdiri dari 24 unit KUD dan 294 unit non KUD. Data ini semakin memberikan justifikasi bahwa perhatian terhadap perkembangan KUD dari Pemerintah Daerah Nias masih sangat rendah. Padahal eksitensi KUD yang seyogianya merupakan institusi yang harus lebih dikembangkan, mengingat desa-desa di Kabupaten Nias sebagian besar masih tertinggal, bahkan sebagian besar desa-desa itu belum dapat dilalui kendaraan.
Lebih jauh dapat ditelusuri bahwa keberadaan atau perkembangan koperasi, terutama yang non KUD juga tidak merata di seluruh kecamatan, bahkan terdapat kecenderungan perkembangan koperasi terpusat pada ibukota kabupaten.
Demikian pula pendirian koperasi serba usaha, koperasi karyawan, koperasi pasar, koperasi simpan pinjam, koperasi angkutan dan sebagainya yang hanya melibatkan beberapa orang dan jumlah anggota yang jauh lebih sedikit, sehingga secara teknis lebih mudah dalam pengelolannya.
Ciri yang menonjol dari koperasi unit desa di Kabupaten Nias adalah eksistensi atau kemunculan merupakan akibat dari adanya program-program tertentu dari pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten. Berbeda dengan koperasi non KUS yang lebih banyak dibentuk oleh segelintir orang atau oleh instansi tertentu, namun gerakannya selalu lebih berorientasi pada upaya pemaksimalan keuntungan pada anggota, paling tidak upaya untuk menangkap adanya peluang-peluang yang sebenarnya tidak di tujukan khusus kepada mereka.
Perkembangan jumlah koperasi yang baru terbentuk sebenarnya bukanlah sebagai akibat meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berkoperasi, tetapi lebih banyak ditentukan dari arah kebijakan pembangunan secara nasional, yakni pada era 1980 hingga 1999 terdapat banyak program-program pengentasan kemiskinan, program penampungan produksi pertanian yang lebih dikenal dengan program kemitraan, Bapak angkat, dan sebagainya.
Disamping itu, ditemukan adanya informasi yang menggambarkan bahwa aliran kebijakan yang digariskan secara nasional mengenai upaya-upaya pembangunan, baik yang berhubungan langsung mengenai koperasi maupun yang tidak berhubungan secara langsung, tetapi melibatkan peran koperasi sebagai instrumen utama, lebih cenderung tertangkap oleh para elite-elite masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal disekitar ibu kota kecamatan.
Upaya yang dilakukan pemerintah tampaknya hingga kini belum mampu mendudukkan koperasi sebagaimana mestinya. Artinya ada persoalan yang belum diketahui secara jelas mengapa keberpihakan pemerintah terhadap keberadaan koperasi tidak diikuti dengan pencapaian atau perkembangan koperasi di Indonesia belum sebanding dengan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah,
Gagalnya gerakan koperasi di Indonesia untuk berkomptensi dengan arus liberalisasi ekonomi, dimungkinkan terjadi akibat terhambatnya proses gerakan koperasi pada tahap permulaan kemerdekaan yang masih sebatas fungsi advokasi dan sosialisasi prinsip-prinsip dan konsep-konsep koperasi, pada tahap demokrasi terpimpin. Begitu pula saat tahap orde baru, gerakan koperasi berpacu dengan gerakan-gerakan pembangunan di segala sektor yang didominasi oleh pengaruh-pengaruh ekonomi liberal, shingga gerakan koperasi pada tahap inipun tidak mampu berkomptensi dan selalu jauh, walaupun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan rehabilitas, konsolidasi dan pengembangan koperasi tetap berlanjut. Pada tahap inilah banyak pihak menyatakan pemerintah belum memberikan tekanan lebih yang memihak pada kepentingan koperasi.
Faktor penting lainnya yang diperkirakan turut menentukan keberhasilan dalam mengelola koperasi adalah pendidikan formal, mengingat dalam praktek pengelolaan KUD, ternyata banyak peluang-peluang terutama yang berasal dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang memerlukan persyaratan teknis yang agak rumit untuk mendapatkannya. Misalnya, adanya penyusunan konsep dan program Koperasi Unit Desa yang mudah untuk diukur dan usulan-usulan lainnya yang memerlukan kemampuan dan pemahaman yang agak rumit, sehingga mau tidak mau, para pengurus seyogianya harus memiliki basis pendidikan formal yang memadai, paling tidak mereka pernah menduduki pendidikan lanjutan atas. Dari penelitian diperoleh ternyata proporsi pendidikan formal yang diperlihatkan oleh para responden pengurus koperasi relatif telah memadai, yaitu sebagian besar sudah berpendidikan formal STA, bahkan ada yang telah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi.
Setelah melihat dari pendidikan dan perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui jalur pendidikan non formal dan informal, maka dapat diketahui kualitas sumber daya manusia responden yang dibagi dalam tiga kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Pembagian kategori kualitas sumber daya manusia tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden tergolong pada kualitas sumber daya manusia yang rendah yaitu sekitar 60 persen, sedangkan kategori sedang dan tinggi masing-masing sebesar 20 persen.
Karakteristik penting untuk melihat perkembangan koperasi unit desa adalah dari jumlah anggota, volume usaha dan sisa hasil usaha. Artinya, semakin besar jumlah anggota, volume usaha dan sisa hasil usaha, maka koperasi tersebut dapat dikatakan semakin berkembang. Dari 7 koperasi unit desa yang dijadikan sampel, ternyata hanya satu KUD yang memiliki jumlah anggota di atas 500 orang, yakni KUD Temani. Tiga KUD yakni, KUD Serasih, Swadaya dan Masa Karya memiliki jumlah anggota antara 100 hingga 150 orang. Jumlah anggota yang dibawah hingga 100 orang terdapat pada KUD Sinar Pagi, Sarunehe dana Harapan.
Dalam tiga tahun terakhir, yakni 2001 sampai 2003, sebagian besar KUD tersebut mengalami perkembangan yang relatif lamban. Selain itu, terdapat perubahan jumlah anggota yang hanya terjadi pada satu KUD, yakni KUD Temani yang mengalami pengurangan jumlah anggota. Sedangkan enam KUD lainnya tidak mengalami perubahan jumlah anggota. Dalam kurun waktu tersebut, hanya KUD Temani yang mengalami perkembangan yang dilihat dari volume usahanya dan sisa hasil usahanya, sedangkan KUD lainnya tampaknya tidak mengalami perkembangan yang berarti. Perbedaan perkembangan KUD Temani dibandingkan dengan KUD lainnya, kemungkinan berhubungan dengan faktor-faktor yang dalam penelitian ini diduga berasal dari faktor sumber daya manusia pengelolanya. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya faktor-faktor lainnya.
Oleh karena itu, orientasi aktivitas KUD lebih banyak diarahkan pada perpanjangan tangan pemerintah yang menuntut kemampuan dan kehandalan dalam melakukan negosiasi dan pendekatan-pendekatan secara interpersonal maupun formal seperti penyusunan proposal, penyediaan data-data dan dokumen yang dapat memenuhi kriteria pihak pemerintah dalam rangka melakukan evaluasi dan monitoring, seperti yang diutarakan oleh salah satu seorang key informan berikut :
Kasus KUD Temani di atas, kemungkinan dapat menjelaskan mengapa variabel dukungan pemerintah merupakan salah satu faktor dari variabel perkembangan KUD. Penjelasan yang sama juga berlaku untuk menjelaskan dukungan instansi swasta terhadap perkembangan KUD, karena ternyata dalam realisasi program-program pemerintah, baik yang bersifat bantuan modal usaha, bantuan pembinaan manajemen dan sebagainya, semuanya melibatkan peran instansi swasta. Jleas pola usaha seperti ini menuntut adanya kualitas sumber daya manusia yang memadai, sebab jika tidak, maka dapat dipastikan koperasi unit desa tidak akan mampu menjalin hubungan kerjasama atau kemitraan dengan institusi-institusi lain, baik pemerintah maupun swasta.

Nama               : Ani Puji Lestari        
NPM/ Kelas    : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan    : Ekonomi/Akuntansi
Tahun              : 2012


Review Jurnal Ekonomi Koperasi (18)

Review 18 : 
Abstrak, Pendahuluan

Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia Pengelola Koperas Terhadap Perkembangan Koperasi Unit Desa di Kabupaten Nias

Oleh :
Atozisochi Daeli, Amru Nasution, Matias Siagian
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2

Abstract
The Study on the development of cooperation is done not only in Indonesia but also other developing countries in the world. For example which is carried out by Pollnac, it discussed about the various disadvantages and advantages of cooperation in countries such as Africa, Asia, and Soutg America. There are still a lot of problems on how the cooperation that is the supporting economy part of country can face low tide, that all of these are influenced by a lot of factors such as human resources, political will of a country, unbalanced economy sector, etc. These were the reason why the study was carried out. In this research, all the problems connecting with the development of the cooperation concerned with the development of the Nias district was part of the study that was carried out in this research. As the problems that are put forward, that is. How far is the influence of the human resource quality in maintaining the cooperation towards the development of Village Cooperation Unit in Nias district. The researcj carried out, proved that some interesting things are worth studied further. Such as there are some discoveries on factors significantly proven as a factor from the development of Village Cooperation Unit and they are : theoretically these research discoveries strengthen the support on the power of the government’s role in determining the development of the cooperation, especially the Village Cooperation Unit. These discoveries, overall, gives a conclusion that conditions that is expected by Mohammad Hatta which is, the cooperation can develop with its indpendence is far from reality and hope, because the quality of a human resource cooperation managing has an ability as a tool for catching chances that is provided by the government through various assistance and training programs.
Keyword : cooperation, development, human resource quality.

1.      Pendahuluan
Gejala ketimpangan pembangunan masih terjadi hingga di penghujung tahun 1990-an. Seperti misalnya dengan acuan yang hampir sama, Haeruman Js (1996, 44-48), menunjukkan bahwa daerah-daerah di Pulau Jawa mengalami perkembangan ekonomi yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan daerah-daerah di luar jawa. Kondisi ekonomi antardaerah di Kawasan Indonesia Barat (KIB) umumnya juga berbeda dengan antardaerah di kawasan Indonesia Timur (KIT). Demikian pula kondisi ekonomi perkotaan, berbeda jauh dengan kondisi ekonomi pedesaan.
Terjadinya ketimpangan antardaerah atau kawasan di Indonesia, menurut Haeruman Js 9=(1996) berkaitan erat dengan pola dan strategi pembangunan yang secara nasional sebenarnya memiliki pola umum yang sama disetiap dareah. Namun dalam implementasi memiliki beberapa perbedaan yang mencolok antardaerah. Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antardaerah, antara lain dengan mengembangkan program bantuan pembangunan daerah yang dialokasikan dalam bentuk program inpres ke daerah-daerah yang kondisi perekonomiannya relatif terbelakang.
Gejala yang sama juga telah terjadi di Provinsi Sumatera Utara, yaitu hingga tahun 2002 masih terlihat adanya kesenjangan pencapaian pembangunan antardaerah. Kesenjangan pembangunan yang terjadi di Kabupaten Nias dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya tampaknya merupakan gejala umum dan banyak di alami oleh daerah-daerah lain di tanah air bahkan di negara-negara berkembang lainnya, walaupun program-program percepatan pembangunan seperti proyek-proyek IDT dan P2KT telah berlangsung cukup lama, namun tampaknya belum banyak membantu mengurangi kesenjangan yang terjadi.
Eksistensi KUD yang seyogianya merupakan institusi yang harus lebih di kembangkan, mengingat desa-desa di Kabupaten Nias sebagian besar masih tertinggal, bahkan sebagian besar  desa-desa itu belum dapat dilalui kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Terjadinya ketimpangan dari aspek jumlah koperasi yang tidak merata pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Nias, tentunya turut memberikan kontribusi terhadap lambannya perkembangan koperasi unit desa, sehingga wajar jika jumlah KUD di seluruh Kabupaten Nias hingga saat ini hanya 17 KUD yang aktif dan 7 tidak aktif.
Oleh karena itu, dalam konteks mengatasi ketimpangan pembangunan di Kabupaten Nias, upaya pembangunan koperasi, khususnya Koperasi Unit Desa yang sejak lama telah terbentuk menjadi salah satu alternatif yang relevan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi “Sejauh mana pengaruh kualitas sumberdaya manusia pengelola koperasi terhadap perkembangan Koperasi Unit Desa di Kabupaten Nias?”.

2.      Metode
Penelitian ini berbentuk eksplanasi, dengan lokasi penelitian di Kabupaten Nias. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh institusi Koperasi Unit Desa (KUD) yang masih aktif di Kabupaten Nias. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui wawancara dengan instrumen kuesioner.
Analisis didasarkan pada pengujian terhadap hubungan antara variabel kualitas sumber daya manusia terhadap variabel perkembangan koperasi yang dikontrol dengan variabel institusi pemerintah institusi swasta perusahaan pribadi dan dukungan anggota KUD.  Selanjutnya untuk mengetahui kemurnian hubungan antara variabel kualitas sumberdaya manusi pengelola koperasi terhadap perkembangan koperasi unit desa di Kabupaten Nias dari pengaruh variabel bantuan institusi pemerintah, institusi swasta, pribadi maupun variabel dukungan antara anggota koperasi dilakukan pengujian koefisien parsial dengan tingkat signifikan = 0,05.

Nama               : Ani Puji Lestari        
NPM/ Kelas    : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan    : Ekonomi/Akuntansi
Tahun              : 2012

Senin, 10 Desember 2012

Review Jurnal Ekonomi Koperasi (17)

Review 17 :
Kesimpulan

Perlindungan Hukum Dana Simpanan Anggota Koperasi

Oleh :
Gunawan Hariyanto
Jurnal Ilmu Hukum, MIZAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2012

  1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)      Perangkat hukum koperasi bagi KSP (koperasi simpan pinjam)/USP (usaha simpan pinjam) masih memiliki celah yang besar bagi praktik penggelapan dana anggota koperasi, karena peran dinas koperasi hanya sebatas pembina dan fasilitator dan tidak ada lembaga penjamin simpanan (LPS) khusus koperasi sebagaimana pada sektor perbankan. Kasus-kasus persidangan hanya menggunakan perangkat hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak ada ketentuan hukum perkoperasian yang secara khusus mengatur tentang sanksi denda dan sanksi adminis51 tratif lainnya sebagaimana ada pada sektor perbankan.Perlunya penerapan & pelaksanaan kode etik koperasi di dalam Undang-Undang Koperasi yang baru nantinya (Penemu ide kode etik Prof Dr Nirbito).
2)      Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui dinas koperasi kabupaten/ kota untuk membantu melindungi dana anggota koperasi masih kurang optimal. Dinas koperasi melakukan fungsi pembinaan cenderung bersifat formalitas belaka, kurang terprogram dan memberi manfaat yang nyata. Dinas koperasi berperan sebagai saksi ahli dalam persidangan, namun kualitas personel dinas koperasi masih kurang capable. Dinas koperasi terlalu mudah memberikan ijin pendirian koperasi, sehingga memicu praktik rentenir berkedok koperasi yang rawan terjadi penyalahgunaan. Lembaga KPKS yang dibentuk melalui SK Gubernur Jawa Timur belum tampak nyata kontribusinya bagi penciptaan iklim perkoperasian KSP/ USP yang sehat dan profesional.

  1. Daftar Bacaan
Firdaus, M., Agus Edhi, 2002. Perkoperasian: Sejarah, Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Friedman, Lawrence M. 1969. The Legal System: A Sosial Science Perspektive. Russel Soge Foundation. New York.
Fuady, Munir. 2007. Dinamika Teori Hukum. Ghalia Indonesia: Bogor.
Kelsen, Hans. 2011. Teori Hukum Murni. Cetakan VIII. Bandung: Nusa Media. Mutis, Thoby. 2004. Pengembangan Koperasi, Cetakan IV, Jakarta, Gramedia. Munker, Hans. 2012. 10 lectures of Cooperative Law. Jakarta, REKADESA.
Pachta, Andjar, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay. 2007. Hukum Koperasi Indonesia: Pemahaman, Regulasi, Pendidikan, dan Modal Usaha. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Cetakan I. Bandung: Citra Aditya Bakti. Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. 2007. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cetakan ke X. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Siamat, Dahlan. 2004. Manajemen Lembaga Keuangan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cetakan ke–11. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Wignjosoebroto, Soetandio. 2002. Hukum Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Huma.

  • Peraturan Perundangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 no.116, diundangkan di Jakarta, 21 Oktober 1992).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, diundangkan di Jakarta, 22 September 2004).
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 no.819, diundangkan di Jakarta, 21 April 1995).

Nama               : Ani Puji Lestari        
NPM/ Kelas    : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan    : Ekonomi/Akuntansi
Tahun              : 2012

Review Jurnal Ekonomi Koperasi (16)

Review 16 :
Pembahasan

Perlindungan Hukum Dana Simpanan Anggota Koperasi

Oleh :
Gunawan Hariyanto
Jurnal Ilmu Hukum, MIZAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2012


  1. Perlindungan Hukum Dana Simpanan Anggota Koperasi di Indonesia Ditinjau dari Aspek Yuridis
Berdasarkan hasil wawancara dengan 7 dinas koperasi di 5 kota di Jawa Timur, peneliti mendapatkan temuan yang beragam terkait aspek yuridis perlindungan dana anggota koperasi di Indonesia. Namun secara umum mereka menilai bahwa perangkat hukum di Indonesia memang belum memadai untuk memberikan perlindungan atas simpanan anggota. Isu perangkat hukum koperasi yang saat ini paling dibutuhkan dan belum ada adalah lembaga penjamin simpanan (LPS) sebagaimana yang ada pada sektor perbankan. Sejauh ini lembaga yang bisa digunakan untuk mencegah kasus penyalahgunaan dana anggota adalah KPKS (Komisi Pengendalian Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam), namun perannya belum cukup terasa karena masih baru dibentuk dan hanya berdasarkan SK Walikota/Bupati yang tentunya memiliki kewenangan hukum yang serba terbatas.
Fenomena KSP/USP menjadi bermasalah ketika dalam melakukan kegiatan usahanya telah menyimpang dari prinsipprinsip koperasi. Semakin ketatnya persaingan sesama koperasi, mendorong KSP/ USP untuk berinovasi dan berlomba menarik calon anggota dengan memberikan berbagai tawaran produk investasi simpanan, serta pemberian bonus-bonus dan hadiah-hadiah menarik lainnya. Strateginya adalah memanfaatkan istilah status “calon anggota koperasi” padahal sasarannya sebenarnya lebih cenderung kepada masyarakat luas. Ketentuan perundangan yang dijadikan tempat berpijak adalah Pasal 18 PP no. 9 tahun 1995 yang menyebutkan bahwa: “(2) Calon anggota koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menjadi anggota dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok.”
Pola pencarian calon nasabah seperti telah tersebut di atas, sebagai alasan pembenarnya lebih pada pertimbangan promosi sisi bisnis, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh koperasi sesungguhnya sudah beregeser dan semakin jauh dari prinsip dan tujuan koperasi itu sendiri. Tujuan koperasi yang terutama seharusnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan para anggotanya.
Penyimpangan yang lain yaitu KSP/USP membuka beberapa kantor cabang di kotakota lain di luar domisili hukumnya, meskipun tanpa atau belum adanya ijin operasional dari instansi vertikal yang berwenang maupun instansi setempat yang berwenang mengeluarkan perijinan dan melakukan pengawasan. Dalam praktiknya seringkali KSP (Koperasi Simpan Pinjam)/Unit Simpan Pinjam (USP) menghimpun dana dari masyarakat yang jelas-jelas notabene bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka dengan memberikan bunga kepada anggotanya di atas bunga bank. Permasalahan akan semakin meruncing pada waktu simpanan para anggota jatuh tempo, tetapi koperasi tidak mampu mengembalikan sesuai waktu dan bunga yang dijanjikan. Hal ini disebabkan tawaran bunga tinggi oleh koperasi ternyata tidak seimbang dengan kontribusi usaha riil yang digunakan untuk memutar dana tersebut, apalagi kalau usaha tersebut berisiko mengalami kerugian atau kebangkrutan.
Faktor penyebab lain adalah tindakan penyelewengan oleh oknum pengelola/ pengurus koperasi akibat lemahnya pengawasan/ kontrol. Kemudahan dalam perijinan pendirian koperasi telah mendorong semakin banyaknya berdiri koperasi-koperasi, di satu sisi keadaan ini akan membantu perbaikan sektor usaha kecil, namun di sisi lain, semakin banyaknya berdiri koperasi tanpa proses perijinan yang selektif dan pengawasan yang ketat juga akan menimbulkan masalah, karena berpotensi penyimpangan.
Berdasarkan keterangan dari dinas-dinas koperasi yang diwawancarai, umumnya kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota oleh pengurus koperasi tidak terselesaikan di persidangan. Atau kalaupun berhasil disidangkan, keputusan yang dihasilkan tidak memenuhi rasa keadilan. Proses persidangan hanya mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tidak menjamin adanya sanksi denda yang jelas serta sanksi administratif (undang undang perbankan) lainnya sebagaimana yang dimiliki Bank Indonesia untuk sektor perbankan. Akibatnya banyak anggota yang harus puas menerima pengembalian dana hanya sekian persen dari nilai yang dulu diinvestasikan, bahkan banyak tak bisa kembali sepeserpun.
Di sinilah aspek yuridis perlindungan dana anggota koperasi memiliki celah yang perlu untuk disempurnakan. Sebenarnya kasus-kasus likuiditas semacam ini juga seringkali terjadi pada sektor perbankan, namun perbankan masih memberi rasa aman kepada para nasabahnya dengan adanya Lembaga Penjamnin Simpanan (LPS). Di koperasi belum ada lembaga seperti itu, sehingga sangat berisiko bagi seorang anggota koperasi untuk mengalokasikan dana besar dalam bentuk simpanan di koperasi. Isu tentang LPS untuk koperasi sebenarnya sudah lama diperdebatkan, sebab banyak implikasi yang harus dipikirkan bila lembaga ini dibentuk untuk koperasi.
Bagaimananapun industri perbankan berbeda dengan koperasi. Tak dapat dipungkiri pula bahwa perbankan di Indonesia lebih mendominasi dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi daripada koperasi. Dengan alasan itu pula maka sektor perbankan lebih mendapat perhatian khusus dalam aspek yuridisnya, khususnya melalui peran Bank Indonesia.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dan disempurnakan dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS dibentuk sebagai suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) :
1)      Menjamin simpanan nasabah penyimpan.
2)      Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya.
Tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS):
1)      Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.
2)      Melaksanakan penjaminan simpanan.
3)      Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
4)      Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik.
5)      Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
1)      Menetapkan dan memungut premi penjaminan.
2)      Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
3)      Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
4)      Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
5)      Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/ atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4.
6)      Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
7)       Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
8)      Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
9)      Menjatuhkan sanksi administratif. (Situs Resmi LPS, online)
Dasar hukum LPS antara lain:
1)      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
2)      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang.
3)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
4)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
5)      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal Awal Lembaga Penjamin Simpanan.

Paparan tentang LPS di atas menunjukkan bahwa secara yuridis pemerintah menjamin dana nasabah perbankan nasional. Koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi diharapkan juga memiliki perlakuan yang sama. Peraturan perundang-undangan tentang Koperasi Simpan Pinjam, yaitu:
1)      UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, PP No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi,
2)      Kepmenkop No.351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi,

Pada peraturan perundangan tersebut belum terdapat adanya pengaturan secara khusus mengenai perlindungan maupun jaminan penyelesaian bila terjadi penyimpangan terhadap dana anggota koperasi yang berakibat kerugian bagi anggota tersebut. Mengingat KSP tergolong bisnis pengelolaan uang yang penuh dengan risiko, maka untuk perkembangannya diperlukan aturan/kebijakan dari Pemerintah yang dapat memberikan perlindungan bagi dana anggota. Dalam beberapa kasus penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pengurus KSP, akhirnya para anggotalah yang tetap dirugikan, apalagi dana miliknya tidak dapat kembali seutuhnya. Sedangkan asset koperasi sangat minim, bahkan jauh bila dibanding dengan akumulasi simpanan para nasabah. Menurut Sularso (Sularso, 2002: 104), KSP/USP memiliki indikasi kerawanan yang harus diwaspadai, yaitu:
1)      USP sebagai salah satu unit dalam koperasi,
2)      KSP/USP mengembangkan pelayanan pada bukan anggota,
3)      KSP/USP dijadikan sebagai payung legal pelepas uang,
4)      Tidak pruden dalam memberikan pinjaman,
5)      Kurang memperhatikan aspek akuntabilitas dan transparansi.

Wakil Gubernur Jatim Drs. H. Saifullah Yusuf mengusulkan adanya lembaga penjaminan simpanan (LPS) bagi anggota koperasi yang dituangkan dalam Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Koperasi. LPS ini dirasa penting dan cocok untuk meningkatkan kinerja koperasi. Lembaga penjaminan yang dimaksud seperti yang diterapkan di dunia perbankan (Humas Setda Prov. Jatim, 2011).
Kendati demikian bila koperasi juga memerlukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana perbankan, maka timbul pertanyaan siapa yang harus mempersiapkan pendanaannya? Gerakan koperasi atau Pemerintah? Kalau pemerintah yang harus menyiapkan maka ketergantungan koperasi pada pemerintah nampak sangat kuat. Padahal koperasi didorong untuk mandiri, seperti halnya lembaga keuangan lainnya. Namun setidaknya dalam rangka pembinaan, karena koperasi masih belum dinilai mampu, maka LPS koperasi ini dapat dibentuk dan diprakarsai oleh pemerintah. Agar tidak terlalu membebani pemerintah, maka diperlukan peran serta Gerakan Koperasi melalui IKSP dalam pengelolaan LPS.

  1. Peranan Pemerintah dalam Melindungi Dana Simpanan Anggota Koperasi
Ketika isu tentang LPS koperasi dan revisi undang-undang perkoperasian masih menjadi perdebatan, maka dengan perangkat yang ada pemerintah (Kementerian Koperasi dan UKM maupun Disperindagkop setempat/ wilayah) dituntut melakukan optimalisasi peran dan fungsinya untuk mencegah terjadinya kasus-kasus penggelapan dan penipuan dalam tubuh koperasi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 7 dinas koperasi di 5 kota di Jawa Timur, peneliti memperoleh informasi yang beragam tentang kiat-kiat pemerintah daerah dalam mengupayakan perlindungan dana anggota koperasi. Secara umum pemerintah, khusunya yang ada di daerah melalui dinas koperasi melakukan upaya sebagai berikut:
1)      Melakukan optimalisasi pembinaan koperasi
Dinas koperasi di daerah berupaya untuk melakukan pembinaan secara periodik kepada koperasi-koperasi yang ada dengan mensosialisasikan informasi agar koperasi tetap berpijak pada prinsip-prinsip koperasi. Dalam kenyataan di lapangan fungsi ini sudah berjalan tapi belum optimal. Dinas koperasi umumnya hanya dianggap simbolisasi formalitas belaka. Oleh sebab itu fungsi pembinaan harus benar-benar dijalankan secara progresif. Dinas koperasi perlu aktif untuk mengadakan pertemuan-pertemuan, diklat, seminar dan kunjungan pada koperasikoperasi yang ada. Semakin seringnya ada pertemuan pembinaan, maka akan semakin banyak informasi yang didapat oleh pengurus dan pengelola, bahkan oleh anggota koperasi. Selain itu banyak masalah-masalah koperasi yang dapat didiskusikan, termasuk dalam hal penggunaan dana anggota koperasi secara sehat dan transparan.
2)      Mengoptimalkan fungsi fasilitator
Dinas koperasi didaerah harus siap kapanpun dan dimanapun untuk menjadi fasilitator kegiatan koperasi. Fungsi fasilitator yang nyata adalah sebagai saksi ahli dalam persidangan untuk kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota. Namun pertanyaannya adalah apakah personel dinas koperasi sudah cukup capable untuk menjadi fasilitator. Dalam kenyataannya hanya sedikit personel dinas koperasi yang mampu menjadi saksi ahli dalam persidangan. Oleh sebab itu seiring perkembangan perkoperasian, maka personel dinas koperasi harus terus meningkatkan kapasitas dan pengetahuannya agar siap dan mampu menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota. Dengan demikian akan dimungkinkan putusan pengadilan yang seadil-adilnya bagi anggota koperasi yang dirugikan. Misalnya dalam hal keputusan pailit koperasi dan lelang aset bagi anggota kreditur koperasi.
3)      Memperketat perijinan pendirian koperasi
Dinas koperasi di daerah berwenang memberikan ijin pendirian koperasi. Selama ini ijin diberikan dengan mudah dengan harapan bahwa koperasi akan tumbuh subur dan mampu menjalankan roda perekonomian daerah dan berimbas langsung pada kesejahteraan masyarakat kecil. Namun kemudahan perijinan ini juga dilematis, karena di sisi lain akan berpotensi terjadi “koperasi jadi-jadian” yang hanya sebagai kedok bagi praktik rentenir, lebih-lebih bila berakhir pada kasus penggelapan dana anggota. Oleh sebab itu kemudahan perijinan koperasi, khususnya KSP/USP harus mempertimbangkan aspek jaminan perlindungan dana anggota. Dinas koperasi perlu menerapkan kehati-hatian dan kejelian apakah sebuah koperasi layak untuk diijinkan berdiri dan beroperasi. Untuk menekan risiko, maka modal penyertaan dan aset koperasi sedapat-dapatnya ditetapkan dalam jumlah besar. Setidaknya bila terjadi kasus likuiditas, maka modal pernyertaan dan aset dapat mencukupi pengembalian dana anggota.
4)      Membentuk Komisi Pengendalian Koperasi Simpan Pinjam (KPKS)
Secara khusus, pemerintah propinsi Jawa Timur telah membentuk KPKS melalui SK Gubernur Jawa Timur guna mengawasi dan mengendalikan KSP/USP yang ada di Jawa Timur. Walaupun berkekuatan hukum terbatas pada tingkat propinsi, namun peran KPKS diharapkan dapat menjadi titik terang bagi terbentuknya iklim KSP/USP yang lebih sehat di masa mendatang. Permasalahannya tinggal bagaimana wujud nyata peran KPKS di kabupaten/kota, apakah KPKS mampu menjalankan fungsinya dengan profesional, netral dan transparan. Sejauh ini hal tersebut belum tampak, sebab KPKS memang baru dibentuk setahun terakhir. Harapan yang besar terhadap KPKS seyogyanya dapat diresponi oleh pemerintah dengan membuat terobosan perlindungan dana anggota melalui perwujudan koperasi yang sehat dan produktif.
5)      Menumbuhkan Kemandirian Koperasi
Kemandirian dalam hal ini tidak hanya menyangkut kemandirian dalam penggalangan dana, tetapi juga kemandirian untuk mengatasi masalah-masalah intern koperasi, namun apabila tidak terselesaikan maka koperasi dapat menempuh proses sesuai hukum yang berlaku. Dalam hal ini peran Rapat Anggota Koperasi sangatlah besar untuk membahas masalah intern dalam tubuh koperasi dan merumuskan solusi bersama.

Nama               : Ani Puji Lestari        
NPM/ Kelas    : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan    : Ekonomi/Akuntansi
Tahun              : 2012