My Blog


Jumat, 18 Oktober 2013

Tugas 2 Bahasa Indonesia - Cerpen "Realita Sosial"

Ikhlas dalam Memberi...

Tari dan Egha merupakan sahabat sejati, kemanapun pergi selalu saja mereka terlihat bersama. Sejak perpisahan sekolah dua tahun yang lalu, mereka memang terlihat jarang untuk bermain. Tari memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi sedangkan egha menunda setahun untuk bekerja lebih dulu. Kedua hal yang berbeda ini tidak menjadikan mereka lantas lost contact. Karena, tidak bertemu langsungpun mereka masih bisa berkomunikasi melalui gadget masing-masing. Mereka merupakan sahabat sejati yang selalu berbagi suka dan duka, dari segala hal tentang sekolah, guru, teman, sampai ke urusan pacar. Sampai suatu hari Tari mengirim pesan singkat kepada sahabatnya yang isinya adalah ingin mengajak sahabatnya itu bertemu sekaligus jalan.
Tidak perlu menunggu waktu lama untuk Egha membalas pesan singkat yang diterimanya. Karena, Egha menerima tawaran sahabatnya itu dengan senang hati dan sekaligus jadi ajang temu kangen dengan sahabatnya Tari.
Tiba di sebuah tempat yang bisa di bilang tempat itu banyak berjejeran tempat makan, dengan pemandangan yang asri nan sejuk.
Yaaa... betul saja, mereka berdua ternyata pergi untuk mencari makan di tempat yang sejuk dan penuh penghijauan, dimana lagi kalo bukan Bogor yang jadi tempat pilihan mereka makan.
Mereka memilih warung makan lesehan sebagai tempat kuliner hari itu. Sambil mereka memilah-milih makanan yang ingin dipesan, Tari sejenak menoreh ke arah sebrang jalan.. yaaa.. karena disitu terlihat seorang kakek tua yang sedang duduk di bawah pohon dengan muka yang pucat, pakaian yang compang-camping dan bercucuran keringat.

Lalu tidak lama kemudian kakek itu berdiri dan melakukan aktivitasnya kembali yaitu mengemis demi mencari sesuap nasi. Seketika itu Tari beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri kakek tua tersebut..
 “Tar.. mau kemana kamu? “tanya Egha”.
“Bentar ya gha.. aku mau keluar sebentar, “Jawab Tari”.
Tari mulai mendekati kakek tua itu dan mencoba untuk bertanya sesuatu yang sedang ia lakukan.
Tari : Sore kek, saya Tari... apa yang sedang kakek lakukan di tempat seperti ini?
Kakek : Sore non.. ini kegiatan yang tiap hari kakek lakukan, mengemis demi mendapatkan uang dan untuk menyambung hidup.
Tari : sungguh terharu aku melihat hal yang kakek lakukan di tempat ini (suara dalam hati Tari). Wajah kakek pucat, Apa kakek sudah makan? Kalau boleh aku ingin mengajak kakek ke tempat makan di sebrang sana untuk menemaniku makan. “ajak Tari dengan senyum”.
Kakek : alhamdulillah non, kakek belum makan dari kemarin sore. Tetapi kakek tidak ingin merepotkan non.
Tari : aah tidak apa kek, mari ikut denganku...
Kemudian Tari pun berhasil mengajak kakek tua itu untuk ikut makan bersama dengannya dan Egha.
Tari : kek, kakek mau makan apa? “tanya Tari (lemah lembut)”.
Kakek : kakek makan apa saja terserah non, sudah bisa makanpun kakek bersyukur, (suara kakek sambil batuk-batuk kecil).
Egha : kakek ini siapa Tar? Kenapa tiba-tiba kalian bisa akrab dan langsung ngajak dya ikut makan bareng kita? “tanya Egha dengan suara bisik-bisik ke Tari”.
Tari : sudah nanti saja aku ceritakan. “jawab Tari dengan pelan”.
Egha : Baiklah kalau begitu..
Tari mencoba untuk memesan makanan untuk si kakek tua itu.
“kek.. aku udah pesenin makanan untuk kakek, kita tunggu bersama ya,”ungkap Tari”.
Sejenak Egha mengerti apa yang sedang dilakukan Tari pada Kakek tua tersebut dan memahami dengan baik tujuan yang sahabatnya lakukan. Dengan penasaran si Egha pun bertanya pada si kakek tua itu.
Egha : hey kek, aku Egha sahabat dekatnya Tari. Boleh aku tau nama kakek? “tanya Egha pada sang kakek”.
Kakek : baik non, senang rasanya kenal dengan kalian yang sungguh baik dengan kakek. Panggil saja saya si “Kakek Tua”.
Egha : hemm.. baiklah kek.. saat ini kakek tinggal bersama siapa? Keluarga kakek dimana? Anak kakek? “pertanyaan Egha yang bertubi-tubi”.
Tari : hussss.. Egha, pertanyaan kamu bikin kakek pusing dan bingung untuk menjawab.
Kakek : tidak apa non, kakek pun akan menjawab pertanyaan itu dengan senang hati. Saat ini kakek tinggal sebatang kara, tempat tinggal pun tak menentu. Siang dan malam, hujan dan panas sudah menjadi teman untuk kakek. Sejak 10 tahun lalu istri dan anak-anak pergi meninggalkan kakek karena kehidupan kami yang terus tidak ada perubahan. Perekonomian yang semakin mahal dan keseharian kakek yang harus bekerja seperti ini membuat mereka tidak betah untuk tinggal bersama kakek lagi. “jawab kakek dengan muka sedih”.
Tari : maaf kek, kami jadi bikin sedih kakek dan mengingat kembali hal itu. “ungkap Tari dengan rasa terharu”.
Kakek : tidak apa non, inilah kenyatan hidup yang harus kakek jalani...
Tidak lama kemudian, satu-persatu makanan yang mereka pesan datang. Merekapun dengan cepat menyantap makanan tersebut. Tari diam-diam memperhatikan si kakek tua itu makan dengan lahap, perasaan ia pun menjadi terharu dan sedih. Air matanya mengucur dengan sendirinya melihat kakek itu, dya berfikir bagaimana jika ia di posisikan seperti kakek tua itu. Sungguh sangat beruntung untuknya dapat menikmati kehidupan saat ini dengan keadaan yang berkecukupan.
Beberapa lama kemudian kakek tersebut mengucapkan “Alhamdulillah.. Alhamdulillah untuk nikmat hari ini dan Alhamdulillah untuk makan yang ia makan hari ini” dengan rasa berterimakasih ia ucapkan kepada kedua sahabat itu.
Egha dan Tari menjawab Alhamdulillah kek, ini nikmat Allah yang di titipkan untuk kakek.
Dengan sedikit uang yang tersisa di saku, mereka berkeinginan untuk memberikannya kepada sang kakek dengan alasan tambahan rezeki untuk kakek.
Dengan beruraian air mata, kakek mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada sahabat itu. Kakek tidak bisa membalas kebaikan kalian, tapi hanya doalah yang bisa kakek berikan demi kebaikan kalian nanti.
“Terimakasih kek, semoga apa yang kakek doakan untuk kami dapat terkabul dan bisa terjadi pada kakek juga”.
Tidak terasa waktu semakin malam, dan waktupun yang harus memisahkan pertemuan singkat mereka dengan si kakek tua itu. Dengan rasa yang masih terharu mereka pun berjanji akan datang lain waktu untuk bertemu dengan si kakek itu.

Pesan yang tersirat dalam kisah ini adalah indah jika kita saling berbagi, ikhlas dalam memberi dengan siapapun, sesungguhnya berbagi tidak akan membuat seseorang menjadi miskin.

Nama               : Ani Puji Lestari
Kelas               : 3EB09
Npm                : 20211909
Fak / Jurusan   : Ekonomi / Akuntansi


Sabtu, 04 Mei 2013

Review Jurnal Aspek Hukum dalam Ekonomi (6)


Review 6 : Penutup

Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Debitur
Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit Bank
(Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen)

The Legal Protection of Debitor in Case of The Increasing of Credit Interest
(s Review of The Law of Consumer Protection)

OLEH :
Didit Saltriwiguna
Legal Officer Dept. Kesekretariatan Kantor Pusat BPD Kalimantan Timur
Jl. Jend. Sudirman No. 33 Samarinda Kaltim – email : dit_zal@yahoo.co.id

A.    Upaya-upaya Bagi Konsumen Untuk Menghindari Terjadinya kerugian Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit di Perbankan
Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang- Undang  Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dalam pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, aspek pengaturan perbankan  pun  harus  diperluas  dengan  aspek  perlindungan  dan  pemberdayaan  nasabah  sebagai konsumen pengguna jasa bank.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam berhubungan dengan bank. Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu cetak biru (blue print) sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API tersebut adalah :
1.        Struktur perbankan yang sehat;
2.        Sistem pengaturan yang efektif;
3.        Sistem pengawasan yang independen dan efektif;
4.        Industri perbankan yang kuat;
5.        Infrastruktur yang mencukupi;
6.        Perlindungan nasabah.
Guna mewujudkan visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan sasaran  yang ditetapkan, serta dengan memperhatikan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan dan Bank Indonesia, maka ke enam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia, terutama menyangkut perlindungan nasabah di bidang perkreditan akan dilaksanakan antara lain melalui :
1.        Program peningkatan fungsi pengawasan.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan independensi dan efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
2.        Program peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen risiko dan kemampuan operasional manajemen.
3.        Program pengembangan infrastruktur perbankan.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan sarana pendukung operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau dan pengembangan skim penjaminan kredit.
4.        Program peningkatan perlindungan nasabah.
Program ini bertujuan untuk memberdayakan nasabah melalui penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi independen, peningkatan transparansi informasi produk perbankan dan edukasi bagi masyarakat.
Dari visi Arsitektur Perbankan Indonesia yang ke enam yaitu perlindungan nasabah seperti program edukasi masyarakat yang akan dilakukan Bank Indonesia pada dasarnya akan diarahkan untuk memberdayakan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan keuangan (financial literacy) untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kritis dan mampu merencanakan keuangannya secara bijaksana.
Gambaran tahapan-tahapan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia yang berupa program peningkatan perlindungan nasabah adalah sebagai berikut :
1.        Menyusun standar mekanisme pengaduan nasabah.
a)      Menetapkan syarat minimum mekanisme pengaduan nasabah;
b)      Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan yang mengatur mekanisme pengaduan nasabah.
2.        Membentuk Lembaga Mediasi Independen.
a)      Memfasilitasi pendirian Lembaga Mediasi Perbankan.
3.        Menyusun transparansi informasi produk.
a)      Memfasilitasi penyusunan standar minimum transparansi informasi produk bank;
b)      Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan yang mengatur transparansi informasi produk bank.
4.        Mempromosikan edukasi untuk nasabah.
a)      Mendorong bank-bank untuk melakukan edukasi kepada nasabah mengenai produk-produk finansial;
b)      Meningkatkan efektifitas kegiatan edukasi masyarakat mengenai perbankan syariah melalui Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES).
Keberadaan program di atas saling terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah.
Tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan dan pemberdayaan nasabah, keberadaan infrastruktur di bank yang menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah, dalam hal  ini,  bank harus bisa  merespon setiap  keluhan dan pengaduan yang diajukan nasabah, khususnya yang terkait dengan transaksi keuangan yang dilakukan nasabah melalui bank tersebut. Untuk menghindari berlarut-larutnya penanganan pengaduan nasabah, diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap bank dalam menyelesaikan setiap pengaduan nasabah. Standar waktu ini harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat dipenuhi dengan baik oleh bank dan tidak menimbulkan kesan bahwa pengaduan tidak ditangani dengan semestinya oleh bank.
Agar upaya perlindungan konsumen di perbankan tersebut bisa berjalan dengan efektif maka cara-cara yang harus dilakukan adalah dengan membangun kesadaran publik; mempersiapkan subtansi hukum, melakukan sosialisasi hukum kepada semua stakeholder; mempersiapkan aparatur hukum (struktur hukum), menyediakan sarana dan prasarana hukum, melaksanakan hukum, menciptakan kultur hukum, melakukan kontrol hukum, dan melahirkan kristalisasi hukum (nilai hukum).
Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “keadilan formal” (formal justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada hukum yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang juga standar dan mengabadi.
Jika demikian, maka wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution).
Secara yuridis penyelesaian sengketa diluar pengadilan telah diatur dalam Undang-Undanng Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan ini telah terdapat beberapa lembaga pendorong metode Alternative Dispute Resolution, antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)  yang  memfokuskan diri  pada  industri perdagangan dengan yurisdiksi bidang keperdataan.
Pada umumnya sengketa konsumen terjadi karena disebabkan barang dan/jasa yang didapat, diperoleh atau diterima konsumen dari pelaku usaha/produsen tidak sesuai dengan yang diharapkan sehingga menimbulkan kerugian dan ketidakpuasan. secara yuridis penyelesaian sengketa konsumen antara lain dapat dijumpai dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Melalui ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dan melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam rangka mengupayakan penegakan hukum terhadap penyimpang yang dilakukan pelaku usaha, pemerintah membentuk suatu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Penyelesaian sengketa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya memperkenalkan 3 (tiga) macam cara penyelesaian, yaitu dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.
Selain  penyelesiannya  melalui  Pengadilan  dan  Badan  Penyelesaian Sengketa  Konsumen (BPSK) tersebut, maka sejalan dengan visi Arsitektur Perbankan Indonesia, muncul alternatif baru penyelesaian sengketa khususnya di bidang perbankan yaitu melalui Lembaga Mediasi Perbankan Independen yang dibentuk oleh asosiasi perbankan. Lembaga ini berfungsi untuk membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan.
Lembaga ini dalam melaksanakan fungsinya melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia, dan apabila lembaga ini belum dibentuk, maka fungsinya dijalankan oleh Bank Indonesia. Namun keberadaan lembaga ini sedikit mendapat hamabatan karena ketentuan yang mengatur penyelesaian sengketa nasabah melalui mediasi ini hanya dibatasi untuk sengketa yang memiliki tuntutan finansial paling  banyak  Rp.  500.000.000,- (lima  ratus  juta  Rupiah)  dan  nasabah  tidak  dapat  mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian inmateriil.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga  mengakui adanya gugatan kelompok atau class action. Gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Class action dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu suatu prosedur hukum yang memungkinkan banyak orang yang bergabung untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu gugatan.
Selain adanya pilihan penyelesaian melalui pengadilan, maka dengan adanya  penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam rangka perlindungan hukum kepada konsumen ini tentunya bisa lebih praktis karena proses penyelesaian sengketa dilakukan secara sederhana dan diharapkan dengan adanya Badan Penyelesain Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Mediasi Perbankan Independen ini bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.

PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Perlindungan hukum yang dilakukan terhadap debitur yang mengalami kerugian akibat tindakan sepihak dari pihak bank yang menaikan suku bunga kredit dapat dijumpai dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tidak hanya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai dasar hukum perjanjian termasuk perjanjian kredit, tetapi dapat pula dijumpai dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang pelindungan konsumen, berbagai Peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan implementasi pilar Arsitektur Perbankan yang ke-6 (enam) yaitu perlindungan nasabah, serta kedepan dimungkinkannya upaya perlindungan hukum terhadap debitur melaui Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan.
2.      Upaya-upaya untuk menghindari terjadinya kerugian bagi debitur akibat kenaikan suku bunga kredit di perbankan dilakukan dengan tindakan preventif, diantaranya dengan menjalankan program edukasi masyarakat di bidang perbanka, transparansi informasi produk bank, penyelesaian  pengaduan  nasabah  serta  program  lainnya  yang  merupakan  bagian  dari  visi Arsitektur Perbankan Indonesia. Sedangkan upaya lainnya yaitu berupa tindakan represif, dimana terdapat upaya penyelesaian sengketa antara bank dengan debitur selain melalui peradilan umum dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada alternatif baru penyelesaian sengketa antara bank dengan debitur, yaitu melalui Lembaga Mediasi Perbankan Independen yang dibentuk oleh  asosiasi  perbankan  sebagaimana  ditentukan  dalam  Peraturan  Bank  Indonesia  Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah  dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia  Nomor  10/1/PBI/2008  tentang  Perubahan  Atas  Peraturan  Bank  Indonesia  Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

B.  Saran
1.      Sebelum  melakukan  hubungan  hukum  dengan  debitur,  pihak  bank  hendaknya  memberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai karakteristi jasa perkreditan yang ada, baik menyangkut jenis kredit, angsuran, bunga, serta risiko-risiko apabila menggunakan produk jasa tersebut.
2.      Sosialisasi   dan   implementasi   peraturan   perundang-undangan   yang   bertujuan   melindungi konsumen terhadap tindakan sewenang-wenang dari pelaku usaha tentu saja memerlukan dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan didalamnya dan dengan upaya pengawasan, pemberdayaan dan  perlindungan  kepada  nasabah  baik  dari  pemerintah,  Bank  Indonesia  dan maupun pihak terkait (stakeholders) maka peningkatan kesetaraan hubungan nasabah dengan bank akan mudah diwujudkan.
3.      Dalam  membuat  kebijakan  dalam  upaya  perlindungan  dan  penegakan  hukum  hendaknya didasarkan pada hukum positif yang berakar di dalam nilai, maka solusi yang diambiI akan berhasil, oleh karenanya dengan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum positif dan menguasai nilai abstrak yang memberi pengertian tentang kebenaran dan keadilan akan dapat dicapai.

Review Jurnal Aspek Hukum dalam Ekonomi (5)


Review 5 : Pembahasan

Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Debitur
Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit Bank
(Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen)

The Legal Protection of Debitor in Case of The Increasing of Credit Interest
(s Review of The Law of Consumer Protection)

OLEH :
Didit Saltriwiguna
Legal Officer Dept. Kesekretariatan Kantor Pusat BPD Kalimantan Timur
Jl. Jend. Sudirman No. 33 Samarinda Kaltim – email : dit_zal@yahoo.co.id

PEMBAHASAN
A.    Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Yang Mengalami Kerugian Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit di Perbankan
Penentuan suku bunga kredit pada awal kredit biasanya sudah diketahui oleh debitur, namun dalam perjalananya bunga kredit tersebut bisa saja berubah dan penetapannya ditentukan sepihak oleh pihak bank diluar dan tidak sesuai dengan yang klausula yang tercantum pada awal perjanjian kredit dan ini dapat menimbulkan kerugian bagi nasabah debitur sebagai konsumen apabila suku bunga kredit tersebut bisa berubah menjadi naik selama jangka waktu kredit.
Akibat tindakan secara sepihak tersebut dapat menjadikan tanggung jawab yang menjadi beban debitur menjadi bertambah berat, karena pada awalnya keadaan tersebut telah dirumuskan sedemikian rupa dalam syarat-syarat perjanjian kredit, sehingga dalam waktu relatif singkat, kurang dapat dipahami oleh debitur ketika membuat perjanjian kredit. Oleh karenanya klausula ini dapat dikategorikan sebagai klausula eksemsi.
Secara yuridis teknis, syarat eksemsi dalam suatu perjanjian biasanya dilakukan melalui 3 (tiga) metode, yaitu :
1.    Metode  pengurangan  atau  bahkan  penghapusan  terhadap  kewajiban-kewajiban  hukum  yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak.
2.    Metode  pengurangan  atau  bahkan  penghapusan  terhadap  akibat  hukum  karena  pelaksanaan kewajiban yang tidak benar.
3.    Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak dalam kontrak.
Dalam suatu perjanjian kredit dapat saja dirumuskan klausula eksemsi karena keadaan memaksa,  karena  perbuatan  para  pihak  dalam  perjanjian.  Perbuatan  para  pihak  tersebut  dapat mengenai kepentingan pihak kedua atau pihak ketiga, dengan demikian ada tiga kemungkinan eksemsi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian, yaitu:
1.        Eksemsi karena keadaan memaksa (force majeure).
2.        Eksemsi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian.
3.        Eksemsi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga.
Bagaimanapun  juga,  klausula  eksemsi  hanya  dapat  digunakan  jika  tidak  dilarang  oleh undang-undang  dan  tidak  bertentangan  dengan  kesusilaan,  dan  jika  terjadi  sengketa  mengenai tanggung jawab yang harus dibebankan kepada debitur akibat dinaikannya suku bunga kredit secara sepihak oleh pihak bank,  maka debitur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah klausula eksemsi yang ditetapkan pihak bank itu adalah suatu tindakan yang tidak layak, perbuatan melawan hukum atau dilarang oleh undang-undang, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Adanya kesalahan yang dilakukan oleh pihak bank merupakan unsur yang penting dalam perbuatan melawan hukum karena dengan terbuktinya kesalahan, maka membuktikan terjadinya perbuatan melawan hukum. Suatu kesalahan terjadi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1.        Ada unsur kesengajaan,atau;
2.        Ada unsur kelalaian, dan;
3.        Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf.
Penggunaan alasan selain adanya unsur tersebut, terhadap adanya paksaan, keliru dan tipuan dalam mengajukan pembatalan suatu perjanjian sebenarnya tidak perlu dibuktikan lagi adanya kerugian, cukup dibuktikan bila tanpa adanya hal-hal tersebut perjanjian tidak akan terjadi. Sebetulnya yang menjadi dasar untuk penuntutan adanya cacat terhadap kekuatan mengikat dari suatu perjanjian adalah pada saat terbentuknya kata sepakat. Jadi tidak perlu adanya unsur tambahan apakah perjanjian tersebut merugikan atau tidak. Kerugian yang dimaksud disini tidak hanya kerugian yang tradisionil, yaitu ketidaksamaan dalam nilai pasar (marktwaarde), tetapi kerugian disini juga termasuk apabila perjanjian  tersebut  dipaksakan  (opgedrongen). Jadi  kerugian  (nadeligheid)  di  sini  sama  dengan terpaksa (onvrijwillingheid).
Dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum, maka harus terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Ada dua macam teori mengenai hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian, yaitu :
1.        Teori Conditio Sine Qua Non
Oleh Von Buri, yang mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada.
2.        Teori Adequate Veroorzaking
Oleh Von Kries, yang menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dikatakan sebab dari suatu akibat jika menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan terlebih dahulu bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat.
Sistem   hukum   perjanjian   dibangun   berdasarkan   asas-asas   hukum,   Mariam   Darus Badrulzaman  mengemukakan bahwa  sistem  hukum  merupakan  kumpulan  asas-asas  hukum  yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum. Pandangan ini menunjukkan arti sistem hukum dari segi substantif. Dilihat dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar tentang kebenaran (waarheid, truth) untuk menopang norma hukum dan menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum perjanjian. Di depan, di dalam, dan di belakang pasal-pasal dari hukum perjanjian terletak cita-cita hukum dari pembentuk hukum perjanjian. Jika norma hukum perjanjian bekerja tanpa memperhatikan asas  hukumnya,  maka  norma  hukum  itu  akan  kehilangan  jati  diri  dan  semakin memberikan percepatan bagi runtuhnya norma hukum tersebut.
Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan siapa pun serta bebas pula menentukan isi perjanjian tersebut, asas kekuatan mengikat menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, hal ini sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas fundamental lainnya dari hukum perjanjian adalah konsensualisme.
Untuk membuat suatu perjanjian kredit yang baik tentunya harus memperhatikan asas-asas pokok perjanjian sebagai landasan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Dari sekian banyak asas- asas hukum yang ada, terdapat 3 asas yang merupakan tonggak hukum perjanjian dalam sistem hukum perbankan yang meliputi asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat perjanjian (verbindende krachtder  overeenkomst)  dan  asas  kebebasan  berkontrak  (contractsvrijheid), dimana  asas-asas  tersebut dipandang sebagai tiang penyangga hukum perjanjian.
Menurut pendapat Herlein Budiono, dari ketiga asas dasar tersebut perlu ditambahkan lagi dengan satu  asas  lagi,  yakni  asas  keseimbangan.  Penambahan asas  keseimbangan sebagai  asas fundamental dalam hukum perjanjian tersebut sejalan pula dengan adanya asas keseimbangan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksudkan  untuk  memberikan  keseimbangan antara  kepentingan konsumen,  pelaku  usaha  dan pemerintah dalam arti meteriil maupun spiritual. Menurut pandangan Atiyah, perjanjian atau kontrak memiliki tiga tujuan dasar, sebagaimana digambarkan secara singkat berikut ini :
1.          Tujuan pertama dari suatu kontrak ialah memaksakan suatu janji dan melindungi harapan wajar yang muncul darinya;
2.          Tujuan kedua dari kontrak ialah mencegah pengayaan (upaya memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar;
3.          Tujuan ketiga ialah to prevent cartain kinds of harm.
Akibat hukum yang timbul dengan adanya perjanjian itu adalah mengikatnya substansi perjanjian tersebut bagi bagi para pihak yang menyepakatinya, hal ini sesuai dengan amanat asas kebebasan  berkontrak  pada  Pasal  1338  KUHPerdata  dan  asas  konsensualisme  pada  Pasal  1320 KUHPerdata.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa adanya kesepakatan dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat itu dapat dibatalkan .
Menurut hukum perjanjian Indonesia, seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak manapun yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap.  Bahkan  lebih  lanjut  dalam  pasal  1331,  ditentukan  bahwa  seandainya  apabila  seseorang membuat perjianjian dengan  pihak  yang  dianggap tidak  cakap  menurut pasal  1330  KUHPerdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dimintakan pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.
Jika dicermati asas kebebasan berkontrak berdasarkan KUHPerdata, ternyata asas tersebut tidak bebas mutlak, hal ini disebabkan karena adanya beberapa pembatasan yang terdapat dalam pasal- pasal pada KUHPerdata, sehingga pemberlakuan terhadap asas dapat dibatasi.
Pasal 1320 angka (1) menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh kata sepakat dari pihak lainnya. Kata lain asas kebebasan berkontrak ini bisa dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
Pasal 1320 angka (2) menyatakan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak  cakap  untuk  membuat  perjanjian sama  sekali  tidak  mempunyai kebebasan untuk  membuat perjanjian. Menurut pasal 1330 KUHPerdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah  pengampuan tidak  mempunyai kecakapan untuk  membuat  perjanjian.  Pasal  108  dan  110 menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun terhadap Pasal 108 dan 110 tersebut, berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 KUHPerdata tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku lagi.
Pasal 1320 angka (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal  tertentu  merupakan  pokok  perjanjian,  merupakan  prestasi  yang  harus  dipenuhi  dalam  suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan seperti halnya penetapan suku bunga kredit yang harus dibayar oleh debitur. Namun pada kenyataanya pihak bank sewaktu-waktu dapat merubah suku bunga kredit yang diberlakukan tersebut sedangkan suku bunga yang dirubah tersebut belum tentu dapat diperhitungkan berapa besarannya oleh pihak debitur. Kenyataan ini tentunya bertolak belakang dengan pendapat Romli Atmasasmita yang menyatakan bahwa suatu norma hukum perjanjian yang baik harus memuat rumusan pasal yang pasti (lex certa), jelas (concise) dan tidak membingungkan (unambiguous).
Adanya syarat bahwa prestasi harus  tertentu atau  dapat ditentukan gunanya ialah  untuk menetapkan dan  memberikan kejelasan  akan  hak  dan  kewajiban  kedua  belah  pihak  jika  timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika  prestasi kabur  atau  dirasakan kurang  jelas,  yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum.
Pasal 1320 jo.1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut kausa yang dilarang oleh undang-undang. Secara yuridis kausa atau sebab itu halal apabila  tidak  dilarang oleh  undang-undang dan  tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum, dengan demikian dapat diartikan bahwa apabila klausula-klausula perjanjian kredit yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terutama bertentangan dengan Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18, maka perjanjian kredit yang dibuat berakibat batal demi hukum.
Pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Karenanya para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjiian, terutama praktek perjanjian kredit yang ada di perbankan tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya paksaan atau penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Suatu perkembangan yang baru dalam menilai perjanjian, yang lebih terkait dengan sebab dari perjanjian sebagai presetasi. Dalam ilmu hukum keadaan tersebut disebut misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui Yurisprudensi.
Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak yang menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan tidak ada (kehendak yang cacat).
Jika demikian halnya maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi banyak hal yang dapat membatasi bekerjanya asas tersebut seperti terbatas oleh adanya asas keseimbangan, tanggungjawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.
Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat dimana terdapat klausula baku yang merupakan  kehendak  dari  salah  satu  pihak  saja.  Perjanjian  seperti  itu  dikenal  dengan  sebutan perjanjian baku (standard of contract), yaitu setiap aturan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu badan atau   perjanjian  yang   mengikat  dan   wajib   dipenuhi  oleh   konsumen.  Pengaturan  mengenai pencantuman klausula baku dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Dalam suatu peristiwa hukum, terutama yang menyangkut perjanjian baku tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak  yang  membuat dan  menentukan perjanjian secara sepihak atau melakukan tindakan hukum sepihak.  Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai kedudukan ekonomi yang kuat dibandingkan pihak debitur dan adanya pelanggaran hukum tersebut mungkin saja dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum   (Onrechtmatigedaad)   sebagaimana   ditentukan   dalam   Pasal   1365   KUHPerdata   yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum dan membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang  yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahnya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur- unsurnya yaitu:
1.        Ada perbuatan melawan hukumnya,
2.        Ada kesalahannya,
3.        Ada kerugiannya,
4.        Ada hubungan timbal balik antara unsur 1, 2 dan 3.
Yang dimaksudkan dengan perbuatan melawan hukum diartikan seluas luanya meliputi hal- hal sebagai berikut:
1.        Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;
2.        Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum;
3.        Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
4.        Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
5.        Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
Perbuatan ini dapat dilihat dari kejadian yang dialami konsumen dimana produsen tidak memenuhi ketentuan atau  standarisasi suatu  produk  yang  akhirnya  merugikan konsumen bahkan sampai mengancam jiwa konsumen. Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan bahwa “Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikannya kerugian tersebut”.
Untuk  mengatasi  permasalahan tersebut,  maka  diupayakan perlindungan  hukum  melalui peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan agar terwujudnya keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak bank sebagai produsen dengan pihak nasabah debitur sebagai konsumen, walaupun secara spesifik Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara khusus tentang perjanjian kredit, namun masih terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban bagi para pihak yang memanfaatkan barang dan atau jasa. Selain itu terdapat pula ketentuan yang mengatur tentang pencantuman klausula baku yang sering digunakan dalam suatu perjanjian kredit di bank yang pada umumnya berbentuk perjanjian baku (standart of contract) dimana bentuknya tertulis dan isinya telah ditentukan secara sepihak oleh kreditur serta sifatnya memaksa debitur untuk menyetujuinya.
Salah satu sumber permasalahan dari suatu perjanjian baku adalah terdapatnya beberapa klausula dalam perjanjian tersebut, seperti klausula penentuan suku bunga kredit dalam perjanjian kredit di perbankan yang menyatakan bahwa “besaran tingkat suku bunga akan ditinjau dan ditetapkan setiap saat oleh bank, dan pihak bank akan memberitahukan secara tertulis kepada debitur mengenai perubahan tingkat suku bunga yang baru, pemberitahuan perubahan suku bunga tersebut mengikat terhadap debitur”. Adanya klausula semacam ini tentunya bisa memberatkan pihak debitur apabila suatu saat suku bunga kredit mengalami kenaikan. Klausula berat sebelah ini dalam bahasa Belanda disebut  dengan  onredelijk  bezwarend,  atau  dalam  bahasa  Inggris  disebut  dengan  unreasonablyonerous. Salah satu klausula berat sebelah tersebut adalah apa yang disebut dengan klausula eksemsi (exemption clause), yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah exoneratie clausule.
Terhadap penggunaan klausula eksemsi, ada saran yang simpatik datang dari Departemen Kehakiman negeri Belanda untuk menghadapi klausula-klausula eksemsi dalam suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut :
1.         Membuat undang-undang yang bersifat hukum memaksa yang melarang penggunaan klausula eksemsi.
2.         Memberikan   kesempatan   kepada   pemerintah   untuk   mengesahkan   klausula   eksemsi   atas permintaan dari pihak yang berkepentingan;
3.         Dibukanya kemungkinan oleh undang-undang   untuk   keikutsertaan   organisasi-organisasi konsumen dalam rangka perundingan-perundingan dengan pihak yang membuat kontrak dengan klausula eksemsi;
4.         Undang-undang memberikan kewenangan kepada ombudsman konsumen untuk mengajak pihak- pihak untuk mengubah klausula-klausula eksemsi dalam kontrak-kontrak. Jika pihak pengusaha menolak perundingan tersebut, ombudsman dapat memprosesnya secara hukum lewat pengadilan khusus, seperti pengadilan Marknadsdomtol di Swedia.
Berkaitan dengan saran yang melarang penggunaan klausula eksemsi yang biasa dijumpai dalam perjanjian kredit di perbankan, di Indonesia upaya tersebut telah dijabarkan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan kedepannya telah dipersiapkan pula Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan yang menyebutkan bahwa perjanjian kredit dibuat secara tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh Bank Indonesia dan sesuai dengan kelaziman di  dunia perbankan. Dalam penyusunan perjanjian kredit dalam bentuk standar, Bank Indonesia harus memperhatikan ketentuan yang terdapat pada Pasal 63 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur tersebut tentunya dapat menimbulkan akibat hukum tersendiri yaitu perjanjian yang telah dibuat tersebut memiliki konsekuensi batal demi hukum. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa “setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan batal demi hukum”. Larangan yang sama juga disebutkan dalam Pasal 58 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan apabila perjanjian kredit yang dibuat tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan tersebut berakibat batal demi hukum.
Dari hal tersebut dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kiranya dapat dikatakan bahwa rasio adanya undang-undang tersebut adalah untuk :
1.        Menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha,
2.         Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih rahim ibu sampai tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa keutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Sejalan  dengan  upaya  perlindungan  hukum  terhadap  konsumen  tersebut,  maka  Bank Indonesia sejak tahun 2004 membuat suatu visi yang dikenal dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dimana dari program tersebut terdapat 6 (enam) pilar yang harus dilaksanakan oleh perbankan Indonesia, yang salah satu pilarnya adalah perlindungan nasabah (konsumen).
Dari   adanya   visi   Arsitektur   Perbankan   Indonesia   ini,   maka   Bank   Indonesia   (BI) mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Paket Kebijakan Perbankan Januari 2005 yang antara lain bertujuan memaksa bank memberikan perlindungan yang lebih kuat kepada nasabah dengan menjamin hak-hak nasabah dalam bertransaksi dengan bank. Dua dari delapan produk hukum yang diterbitkan pada 24 Januari 2005 yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah serta Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah memuat ketentuan yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan upaya perlindungan konsumen.
Keberadaan peraturan mengenai transparansi informasi produk bank sangat diperlukan untuk memberikan kejelasan  kepada  nasabah  mengenai  manfaat  dan  risiko  yang  melekat  pada  produk tersebut. Peraturan ini menyaratkan bahwa informasi yang disediakan untuk nasabah haruslah memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan, antara lain informasi mengenai karakteristik produk bank yang sekurang-kurangnya meliputi :
1.        Nama produk bank;
2.        Jenis Produk Bank;
3.        Manfaat dan risiko yang melekat pada produk bank;
4.        Persyaratan dan tata cara penggunaan produk bank;
5.        Biaya-biaya yang melekat pada produk bank;
6.        Perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan;
7.        Jangka waktu berlakunya produk bank;
8.        Penerbit (issuer/originator) produk bank.
Selain itu diatur pula bahwa bank dalam menyampaikan informasi harus dilakukan dengan memenuhi standar tertentu, antara lain harus dapat dibaca secara jelas, tidak menyesatkan (misliead), tidak etis (misconduct) serta mudah dimengerti.
Berkaitan dengan perubahan (kenaikan) suku bunga kredit, dimana bunga merupakan bagian dari karakteristik produk bank, dan apabila pihak bank akan melakukan perubahan dari karakteristik produk bank, maka pihak bank diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada setiap nasabah yang sedang memanfaatkan produk bank (kredit) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum perubahan, penambahan dan/atau pengurangan pada karakteristik produk bank tersebut.
Selanjutnya Bank Indonesia juga mengeluarkan Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006 yaitu salah satunya berupa Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubagan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan yang merupakan realisasi dari upaya Bank Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan usaha perbankan dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah). Sebagai bagian dari Paket Kebijakan Perbankan, penerbitan ketiga ketentuan tersebut akan dapat membawa dimensi baru dalam pengaturan perbankan dengan turut diperhatikannya pula kepentingan nasabah secara eksplisit sebagai aspek penting yang turut mempengaruhi perkembangan perbankan nasional ke depan.