Review
6 : Penutup
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Debitur
Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit Bank
(Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen)
The Legal
Protection of Debitor in Case of The Increasing of Credit Interest
(s Review
of The Law of Consumer Protection)
OLEH :
Didit Saltriwiguna
Legal Officer Dept. Kesekretariatan Kantor Pusat BPD
Kalimantan Timur
Jl. Jend. Sudirman No. 33 Samarinda Kaltim – email :
dit_zal@yahoo.co.id
A.
Upaya-upaya
Bagi Konsumen Untuk Menghindari Terjadinya kerugian Akibat Kenaikan Suku Bunga
Kredit di Perbankan
Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dalam pengaturan
aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku efektifnya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, aspek pengaturan
perbankan pun harus
diperluas dengan aspek
perlindungan dan pemberdayaan
nasabah sebagai konsumen pengguna
jasa bank.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri
perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan
nasabah dalam berhubungan dengan bank. Mengingat pentingnya permasalahan
tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai
salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan
oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan
suatu cetak biru (blue print) sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam
pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna
menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API tersebut adalah :
1.
Struktur perbankan yang sehat;
2.
Sistem pengaturan yang efektif;
3.
Sistem pengawasan yang independen dan
efektif;
4.
Industri perbankan yang kuat;
5.
Infrastruktur yang mencukupi;
6.
Perlindungan nasabah.
Guna mewujudkan visi Arsitektur Perbankan Indonesia
(API) dan sasaran yang ditetapkan, serta
dengan memperhatikan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan
dan Bank Indonesia, maka ke enam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia, terutama
menyangkut perlindungan nasabah di bidang perkreditan akan dilaksanakan antara
lain melalui :
1.
Program peningkatan fungsi pengawasan.
Program ini bertujuan
untuk meningkatkan independensi dan efektivitas pengawasan perbankan yang
dilakukan oleh Bank Indonesia.
2.
Program peningkatan kualitas manajemen
dan operasional perbankan.
Program ini bertujuan
untuk meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen risiko
dan kemampuan operasional manajemen.
3.
Program pengembangan infrastruktur
perbankan.
Program ini bertujuan
untuk mengembangkan sarana pendukung operasional perbankan yang efektif seperti
credit bureau dan pengembangan skim penjaminan kredit.
4.
Program peningkatan perlindungan
nasabah.
Program ini bertujuan
untuk memberdayakan nasabah melalui penetapan standar penyusunan mekanisme
pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi independen, peningkatan
transparansi informasi produk perbankan dan edukasi bagi masyarakat.
Dari visi Arsitektur Perbankan Indonesia yang ke
enam yaitu perlindungan nasabah seperti program edukasi masyarakat yang akan
dilakukan Bank Indonesia pada dasarnya akan diarahkan untuk memberdayakan
masyarakat melalui peningkatan pengetahuan keuangan (financial literacy) untuk
mendukung terwujudnya masyarakat yang kritis dan mampu merencanakan keuangannya
secara bijaksana.
Gambaran tahapan-tahapan implementasi Arsitektur
Perbankan Indonesia yang berupa program peningkatan perlindungan nasabah adalah
sebagai berikut :
1.
Menyusun standar mekanisme pengaduan
nasabah.
a) Menetapkan
syarat minimum mekanisme pengaduan nasabah;
b) Memantau
dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan yang mengatur mekanisme pengaduan
nasabah.
2.
Membentuk Lembaga Mediasi Independen.
a) Memfasilitasi
pendirian Lembaga Mediasi Perbankan.
3.
Menyusun transparansi informasi produk.
a) Memfasilitasi
penyusunan standar minimum transparansi informasi produk bank;
b) Memantau
dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan yang mengatur transparansi informasi
produk bank.
4.
Mempromosikan edukasi untuk nasabah.
a) Mendorong
bank-bank untuk melakukan edukasi kepada nasabah mengenai produk-produk
finansial;
b) Meningkatkan
efektifitas kegiatan edukasi masyarakat mengenai perbankan syariah melalui Pusat
Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES).
Keberadaan program di atas saling terkait satu sama
lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan
pemberdayaan hak-hak nasabah.
Tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan dan
pemberdayaan nasabah, keberadaan infrastruktur di bank yang menangani dan
menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah, dalam hal ini,
bank harus bisa merespon
setiap keluhan dan pengaduan yang
diajukan nasabah, khususnya yang terkait dengan transaksi keuangan yang
dilakukan nasabah melalui bank tersebut. Untuk menghindari berlarut-larutnya
penanganan pengaduan nasabah, diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku
secara umum di setiap bank dalam menyelesaikan setiap pengaduan nasabah.
Standar waktu ini harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat dipenuhi
dengan baik oleh bank dan tidak menimbulkan kesan bahwa pengaduan tidak
ditangani dengan semestinya oleh bank.
Agar upaya perlindungan konsumen di perbankan
tersebut bisa berjalan dengan efektif maka cara-cara yang harus dilakukan
adalah dengan membangun kesadaran publik; mempersiapkan subtansi hukum,
melakukan sosialisasi hukum kepada semua stakeholder; mempersiapkan aparatur
hukum (struktur hukum), menyediakan sarana dan prasarana hukum, melaksanakan
hukum, menciptakan kultur hukum, melakukan kontrol hukum, dan melahirkan kristalisasi
hukum (nilai hukum).
Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang
melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang
“keadilan formal” (formal justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum
maupun proses hukum yang juga formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat
proses hukum yang dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu
didasarkan pada hukum yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat
resmi negara yang diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang
juga standar dan mengabadi.
Jika demikian, maka wajah lain dari hukum dan proses
hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal,
sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan,
tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Salah satu dari berbagai masalah yang
menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat
terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah
(one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak
pihak guna mencari alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute
resolution).
Secara yuridis penyelesaian sengketa diluar
pengadilan telah diatur dalam Undang-Undanng Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan ini telah
terdapat beberapa lembaga pendorong metode Alternative Dispute Resolution,
antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang
memfokuskan diri pada industri perdagangan dengan yurisdiksi bidang
keperdataan.
Pada umumnya sengketa konsumen terjadi karena
disebabkan barang dan/jasa yang didapat, diperoleh atau diterima konsumen dari
pelaku usaha/produsen tidak sesuai dengan yang diharapkan sehingga menimbulkan
kerugian dan ketidakpuasan. secara yuridis penyelesaian sengketa konsumen
antara lain dapat dijumpai dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Melalui ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa
untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
dan melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam rangka mengupayakan
penegakan hukum terhadap penyimpang yang dilakukan pelaku usaha, pemerintah
membentuk suatu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Penyelesaian sengketa yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya
memperkenalkan 3 (tiga) macam cara penyelesaian, yaitu dengan cara konsiliasi,
mediasi, dan arbitrase.
Selain penyelesiannya melalui
Pengadilan dan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) tersebut, maka sejalan dengan visi Arsitektur Perbankan Indonesia,
muncul alternatif baru penyelesaian sengketa khususnya di bidang perbankan
yaitu melalui Lembaga Mediasi Perbankan Independen yang dibentuk oleh asosiasi
perbankan. Lembaga ini berfungsi untuk membantu nasabah dan bank untuk mengkaji
ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan.
Lembaga ini dalam melaksanakan fungsinya melakukan
koordinasi dengan Bank Indonesia, dan apabila lembaga ini belum dibentuk, maka
fungsinya dijalankan oleh Bank Indonesia. Namun keberadaan lembaga ini sedikit
mendapat hamabatan karena ketentuan yang mengatur penyelesaian sengketa nasabah
melalui mediasi ini hanya dibatasi untuk sengketa yang memiliki tuntutan
finansial paling banyak Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta
Rupiah) dan nasabah
tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang
diakibatkan oleh kerugian inmateriil.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengakui adanya gugatan kelompok atau class
action. Gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan
dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti
transaksi.
Class action dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yaitu suatu prosedur hukum yang memungkinkan banyak orang yang
bergabung untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu
gugatan.
Selain adanya pilihan penyelesaian melalui
pengadilan, maka dengan adanya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam rangka perlindungan hukum
kepada konsumen ini tentunya bisa lebih praktis karena proses penyelesaian
sengketa dilakukan secara sederhana dan diharapkan dengan adanya Badan
Penyelesain Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Mediasi Perbankan Independen
ini bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perlindungan
hukum yang dilakukan terhadap debitur yang mengalami kerugian akibat tindakan
sepihak dari pihak bank yang menaikan suku bunga kredit dapat dijumpai dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, tidak hanya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sebagai dasar hukum perjanjian termasuk perjanjian kredit, tetapi
dapat pula dijumpai dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang pelindungan
konsumen, berbagai Peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan implementasi
pilar Arsitektur Perbankan yang ke-6 (enam) yaitu perlindungan nasabah, serta
kedepan dimungkinkannya upaya perlindungan hukum terhadap debitur melaui
Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan.
2. Upaya-upaya
untuk menghindari terjadinya kerugian bagi debitur akibat kenaikan suku bunga
kredit di perbankan dilakukan dengan tindakan preventif, diantaranya dengan
menjalankan program edukasi masyarakat di bidang perbanka, transparansi
informasi produk bank, penyelesaian
pengaduan nasabah serta
program lainnya yang
merupakan bagian dari
visi Arsitektur Perbankan Indonesia. Sedangkan upaya lainnya yaitu
berupa tindakan represif, dimana terdapat upaya penyelesaian sengketa antara
bank dengan debitur selain melalui peradilan umum dan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada alternatif baru penyelesaian sengketa
antara bank dengan debitur, yaitu melalui Lembaga Mediasi Perbankan Independen
yang dibentuk oleh asosiasi perbankan
sebagaimana ditentukan dalam
Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/1/PBI/2008 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006
tentang Mediasi Perbankan.
B. Saran
1. Sebelum melakukan
hubungan hukum dengan
debitur, pihak bank
hendaknya memberikan informasi
yang sejelas-jelasnya mengenai karakteristi jasa perkreditan yang ada, baik
menyangkut jenis kredit, angsuran, bunga, serta risiko-risiko apabila
menggunakan produk jasa tersebut.
2. Sosialisasi dan
implementasi peraturan perundang-undangan yang
bertujuan melindungi konsumen
terhadap tindakan sewenang-wenang dari pelaku usaha tentu saja memerlukan
dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan didalamnya dan dengan upaya
pengawasan, pemberdayaan dan
perlindungan kepada nasabah
baik dari pemerintah,
Bank Indonesia dan maupun pihak terkait (stakeholders) maka
peningkatan kesetaraan hubungan nasabah dengan bank akan mudah diwujudkan.
3. Dalam membuat
kebijakan dalam upaya
perlindungan dan penegakan
hukum hendaknya didasarkan pada
hukum positif yang berakar di dalam nilai, maka solusi yang diambiI akan
berhasil, oleh karenanya dengan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung di
dalam hukum positif dan menguasai nilai abstrak yang memberi pengertian tentang
kebenaran dan keadilan akan dapat dicapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar