My Blog


Sabtu, 04 Mei 2013

Review Jurnal Aspek Hukum dalam Ekonomi (6)


Review 6 : Penutup

Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Debitur
Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit Bank
(Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen)

The Legal Protection of Debitor in Case of The Increasing of Credit Interest
(s Review of The Law of Consumer Protection)

OLEH :
Didit Saltriwiguna
Legal Officer Dept. Kesekretariatan Kantor Pusat BPD Kalimantan Timur
Jl. Jend. Sudirman No. 33 Samarinda Kaltim – email : dit_zal@yahoo.co.id

A.    Upaya-upaya Bagi Konsumen Untuk Menghindari Terjadinya kerugian Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit di Perbankan
Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang- Undang  Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dalam pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, aspek pengaturan perbankan  pun  harus  diperluas  dengan  aspek  perlindungan  dan  pemberdayaan  nasabah  sebagai konsumen pengguna jasa bank.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam berhubungan dengan bank. Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu cetak biru (blue print) sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API tersebut adalah :
1.        Struktur perbankan yang sehat;
2.        Sistem pengaturan yang efektif;
3.        Sistem pengawasan yang independen dan efektif;
4.        Industri perbankan yang kuat;
5.        Infrastruktur yang mencukupi;
6.        Perlindungan nasabah.
Guna mewujudkan visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan sasaran  yang ditetapkan, serta dengan memperhatikan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan dan Bank Indonesia, maka ke enam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia, terutama menyangkut perlindungan nasabah di bidang perkreditan akan dilaksanakan antara lain melalui :
1.        Program peningkatan fungsi pengawasan.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan independensi dan efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
2.        Program peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen risiko dan kemampuan operasional manajemen.
3.        Program pengembangan infrastruktur perbankan.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan sarana pendukung operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau dan pengembangan skim penjaminan kredit.
4.        Program peningkatan perlindungan nasabah.
Program ini bertujuan untuk memberdayakan nasabah melalui penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi independen, peningkatan transparansi informasi produk perbankan dan edukasi bagi masyarakat.
Dari visi Arsitektur Perbankan Indonesia yang ke enam yaitu perlindungan nasabah seperti program edukasi masyarakat yang akan dilakukan Bank Indonesia pada dasarnya akan diarahkan untuk memberdayakan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan keuangan (financial literacy) untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kritis dan mampu merencanakan keuangannya secara bijaksana.
Gambaran tahapan-tahapan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia yang berupa program peningkatan perlindungan nasabah adalah sebagai berikut :
1.        Menyusun standar mekanisme pengaduan nasabah.
a)      Menetapkan syarat minimum mekanisme pengaduan nasabah;
b)      Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan yang mengatur mekanisme pengaduan nasabah.
2.        Membentuk Lembaga Mediasi Independen.
a)      Memfasilitasi pendirian Lembaga Mediasi Perbankan.
3.        Menyusun transparansi informasi produk.
a)      Memfasilitasi penyusunan standar minimum transparansi informasi produk bank;
b)      Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan yang mengatur transparansi informasi produk bank.
4.        Mempromosikan edukasi untuk nasabah.
a)      Mendorong bank-bank untuk melakukan edukasi kepada nasabah mengenai produk-produk finansial;
b)      Meningkatkan efektifitas kegiatan edukasi masyarakat mengenai perbankan syariah melalui Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES).
Keberadaan program di atas saling terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah.
Tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan dan pemberdayaan nasabah, keberadaan infrastruktur di bank yang menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah, dalam hal  ini,  bank harus bisa  merespon setiap  keluhan dan pengaduan yang diajukan nasabah, khususnya yang terkait dengan transaksi keuangan yang dilakukan nasabah melalui bank tersebut. Untuk menghindari berlarut-larutnya penanganan pengaduan nasabah, diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap bank dalam menyelesaikan setiap pengaduan nasabah. Standar waktu ini harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat dipenuhi dengan baik oleh bank dan tidak menimbulkan kesan bahwa pengaduan tidak ditangani dengan semestinya oleh bank.
Agar upaya perlindungan konsumen di perbankan tersebut bisa berjalan dengan efektif maka cara-cara yang harus dilakukan adalah dengan membangun kesadaran publik; mempersiapkan subtansi hukum, melakukan sosialisasi hukum kepada semua stakeholder; mempersiapkan aparatur hukum (struktur hukum), menyediakan sarana dan prasarana hukum, melaksanakan hukum, menciptakan kultur hukum, melakukan kontrol hukum, dan melahirkan kristalisasi hukum (nilai hukum).
Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “keadilan formal” (formal justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada hukum yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang juga standar dan mengabadi.
Jika demikian, maka wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution).
Secara yuridis penyelesaian sengketa diluar pengadilan telah diatur dalam Undang-Undanng Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan ini telah terdapat beberapa lembaga pendorong metode Alternative Dispute Resolution, antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)  yang  memfokuskan diri  pada  industri perdagangan dengan yurisdiksi bidang keperdataan.
Pada umumnya sengketa konsumen terjadi karena disebabkan barang dan/jasa yang didapat, diperoleh atau diterima konsumen dari pelaku usaha/produsen tidak sesuai dengan yang diharapkan sehingga menimbulkan kerugian dan ketidakpuasan. secara yuridis penyelesaian sengketa konsumen antara lain dapat dijumpai dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Melalui ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dan melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam rangka mengupayakan penegakan hukum terhadap penyimpang yang dilakukan pelaku usaha, pemerintah membentuk suatu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Penyelesaian sengketa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya memperkenalkan 3 (tiga) macam cara penyelesaian, yaitu dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.
Selain  penyelesiannya  melalui  Pengadilan  dan  Badan  Penyelesaian Sengketa  Konsumen (BPSK) tersebut, maka sejalan dengan visi Arsitektur Perbankan Indonesia, muncul alternatif baru penyelesaian sengketa khususnya di bidang perbankan yaitu melalui Lembaga Mediasi Perbankan Independen yang dibentuk oleh asosiasi perbankan. Lembaga ini berfungsi untuk membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan.
Lembaga ini dalam melaksanakan fungsinya melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia, dan apabila lembaga ini belum dibentuk, maka fungsinya dijalankan oleh Bank Indonesia. Namun keberadaan lembaga ini sedikit mendapat hamabatan karena ketentuan yang mengatur penyelesaian sengketa nasabah melalui mediasi ini hanya dibatasi untuk sengketa yang memiliki tuntutan finansial paling  banyak  Rp.  500.000.000,- (lima  ratus  juta  Rupiah)  dan  nasabah  tidak  dapat  mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian inmateriil.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga  mengakui adanya gugatan kelompok atau class action. Gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Class action dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu suatu prosedur hukum yang memungkinkan banyak orang yang bergabung untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu gugatan.
Selain adanya pilihan penyelesaian melalui pengadilan, maka dengan adanya  penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam rangka perlindungan hukum kepada konsumen ini tentunya bisa lebih praktis karena proses penyelesaian sengketa dilakukan secara sederhana dan diharapkan dengan adanya Badan Penyelesain Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Mediasi Perbankan Independen ini bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.

PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Perlindungan hukum yang dilakukan terhadap debitur yang mengalami kerugian akibat tindakan sepihak dari pihak bank yang menaikan suku bunga kredit dapat dijumpai dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tidak hanya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai dasar hukum perjanjian termasuk perjanjian kredit, tetapi dapat pula dijumpai dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang pelindungan konsumen, berbagai Peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan implementasi pilar Arsitektur Perbankan yang ke-6 (enam) yaitu perlindungan nasabah, serta kedepan dimungkinkannya upaya perlindungan hukum terhadap debitur melaui Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan.
2.      Upaya-upaya untuk menghindari terjadinya kerugian bagi debitur akibat kenaikan suku bunga kredit di perbankan dilakukan dengan tindakan preventif, diantaranya dengan menjalankan program edukasi masyarakat di bidang perbanka, transparansi informasi produk bank, penyelesaian  pengaduan  nasabah  serta  program  lainnya  yang  merupakan  bagian  dari  visi Arsitektur Perbankan Indonesia. Sedangkan upaya lainnya yaitu berupa tindakan represif, dimana terdapat upaya penyelesaian sengketa antara bank dengan debitur selain melalui peradilan umum dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada alternatif baru penyelesaian sengketa antara bank dengan debitur, yaitu melalui Lembaga Mediasi Perbankan Independen yang dibentuk oleh  asosiasi  perbankan  sebagaimana  ditentukan  dalam  Peraturan  Bank  Indonesia  Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah  dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia  Nomor  10/1/PBI/2008  tentang  Perubahan  Atas  Peraturan  Bank  Indonesia  Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

B.  Saran
1.      Sebelum  melakukan  hubungan  hukum  dengan  debitur,  pihak  bank  hendaknya  memberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai karakteristi jasa perkreditan yang ada, baik menyangkut jenis kredit, angsuran, bunga, serta risiko-risiko apabila menggunakan produk jasa tersebut.
2.      Sosialisasi   dan   implementasi   peraturan   perundang-undangan   yang   bertujuan   melindungi konsumen terhadap tindakan sewenang-wenang dari pelaku usaha tentu saja memerlukan dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan didalamnya dan dengan upaya pengawasan, pemberdayaan dan  perlindungan  kepada  nasabah  baik  dari  pemerintah,  Bank  Indonesia  dan maupun pihak terkait (stakeholders) maka peningkatan kesetaraan hubungan nasabah dengan bank akan mudah diwujudkan.
3.      Dalam  membuat  kebijakan  dalam  upaya  perlindungan  dan  penegakan  hukum  hendaknya didasarkan pada hukum positif yang berakar di dalam nilai, maka solusi yang diambiI akan berhasil, oleh karenanya dengan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum positif dan menguasai nilai abstrak yang memberi pengertian tentang kebenaran dan keadilan akan dapat dicapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar