Review
5 : Pembahasan
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Debitur
Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit Bank
(Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen)
The Legal
Protection of Debitor in Case of The Increasing of Credit Interest
(s Review
of The Law of Consumer Protection)
OLEH :
Didit Saltriwiguna
Legal Officer Dept. Kesekretariatan Kantor Pusat BPD
Kalimantan Timur
Jl. Jend. Sudirman No. 33 Samarinda Kaltim – email :
dit_zal@yahoo.co.id
PEMBAHASAN
A.
Perlindungan
Hukum Terhadap Debitur Yang Mengalami Kerugian Akibat Kenaikan Suku Bunga
Kredit di Perbankan
Penentuan suku bunga kredit pada awal kredit
biasanya sudah diketahui oleh debitur, namun dalam perjalananya bunga kredit
tersebut bisa saja berubah dan penetapannya ditentukan sepihak oleh pihak bank
diluar dan tidak sesuai dengan yang klausula yang tercantum pada awal
perjanjian kredit dan ini dapat menimbulkan kerugian bagi nasabah debitur
sebagai konsumen apabila suku bunga kredit tersebut bisa berubah menjadi naik selama
jangka waktu kredit.
Akibat tindakan secara sepihak tersebut dapat
menjadikan tanggung jawab yang menjadi beban debitur menjadi bertambah berat,
karena pada awalnya keadaan tersebut telah dirumuskan sedemikian rupa dalam
syarat-syarat perjanjian kredit, sehingga dalam waktu relatif singkat, kurang
dapat dipahami oleh debitur ketika membuat perjanjian kredit. Oleh karenanya
klausula ini dapat dikategorikan sebagai klausula eksemsi.
Secara yuridis teknis, syarat eksemsi dalam suatu
perjanjian biasanya dilakukan melalui 3 (tiga) metode, yaitu :
1. Metode pengurangan
atau bahkan penghapusan
terhadap kewajiban-kewajiban hukum
yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak.
2. Metode pengurangan
atau bahkan penghapusan
terhadap akibat hukum
karena pelaksanaan kewajiban yang
tidak benar.
3. Metode
menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak dalam kontrak.
Dalam suatu perjanjian kredit dapat saja dirumuskan
klausula eksemsi karena keadaan memaksa,
karena perbuatan para
pihak dalam perjanjian.
Perbuatan para pihak
tersebut dapat mengenai
kepentingan pihak kedua atau pihak ketiga, dengan demikian ada tiga kemungkinan
eksemsi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian, yaitu:
1.
Eksemsi karena keadaan memaksa (force majeure).
2.
Eksemsi karena kesalahan pengusaha yang
merugikan pihak kedua dalam perjanjian.
3.
Eksemsi karena kesalahan pengusaha yang
merugikan pihak ketiga.
Bagaimanapun
juga, klausula eksemsi
hanya dapat digunakan
jika tidak dilarang
oleh undang-undang dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan,
dan jika terjadi
sengketa mengenai tanggung jawab
yang harus dibebankan kepada debitur akibat dinaikannya suku bunga kredit
secara sepihak oleh pihak bank, maka
debitur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah
klausula eksemsi yang ditetapkan pihak bank itu adalah suatu tindakan yang
tidak layak, perbuatan melawan hukum atau dilarang oleh undang-undang, dan
tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Adanya kesalahan yang dilakukan oleh pihak bank
merupakan unsur yang penting dalam perbuatan melawan hukum karena dengan
terbuktinya kesalahan, maka membuktikan terjadinya perbuatan melawan hukum.
Suatu kesalahan terjadi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1.
Ada unsur kesengajaan,atau;
2.
Ada unsur kelalaian, dan;
3.
Tidak ada alasan pembenar atau alasan
pemaaf.
Penggunaan alasan selain adanya unsur tersebut,
terhadap adanya paksaan, keliru dan tipuan dalam mengajukan pembatalan suatu
perjanjian sebenarnya tidak perlu dibuktikan lagi adanya kerugian, cukup
dibuktikan bila tanpa adanya hal-hal tersebut perjanjian tidak akan terjadi.
Sebetulnya yang menjadi dasar untuk penuntutan adanya cacat terhadap kekuatan
mengikat dari suatu perjanjian adalah pada saat terbentuknya kata sepakat. Jadi
tidak perlu adanya unsur tambahan apakah perjanjian tersebut merugikan atau
tidak. Kerugian yang dimaksud disini tidak hanya kerugian yang tradisionil,
yaitu ketidaksamaan dalam nilai pasar (marktwaarde), tetapi kerugian disini
juga termasuk apabila perjanjian
tersebut dipaksakan (opgedrongen). Jadi kerugian
(nadeligheid) di sini
sama dengan terpaksa
(onvrijwillingheid).
Dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum, maka
harus terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Ada dua macam
teori mengenai hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian, yaitu :
1.
Teori Conditio Sine Qua Non
Oleh Von Buri, yang
mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat dan akibat tidak akan
terjadi jika sebab itu tidak ada.
2.
Teori Adequate Veroorzaking
Oleh Von Kries, yang
menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dikatakan sebab dari suatu akibat jika
menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan terlebih dahulu bahwa sebab itu
akan diikuti oleh akibat.
Sistem
hukum perjanjian dibangun
berdasarkan asas-asas hukum,
Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa sistem
hukum merupakan kumpulan
asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun tertib
hukum. Pandangan ini menunjukkan arti sistem hukum dari segi substantif.
Dilihat dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran
mendasar tentang kebenaran (waarheid, truth) untuk menopang norma hukum dan
menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum perjanjian. Di depan, di dalam,
dan di belakang pasal-pasal dari hukum perjanjian terletak cita-cita hukum dari
pembentuk hukum perjanjian. Jika norma hukum perjanjian bekerja tanpa
memperhatikan asas hukumnya, maka
norma hukum itu
akan kehilangan jati
diri dan semakin memberikan percepatan bagi runtuhnya
norma hukum tersebut.
Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk
secara bebas membuat perjanjian dengan siapa pun serta bebas pula menentukan
isi perjanjian tersebut, asas kekuatan mengikat menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, hal ini sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata. Asas fundamental lainnya dari hukum perjanjian adalah
konsensualisme.
Untuk membuat suatu perjanjian kredit yang baik
tentunya harus memperhatikan asas-asas pokok perjanjian sebagai landasan hukum
bagi para pihak yang membuatnya. Dari sekian banyak asas- asas hukum yang ada,
terdapat 3 asas yang merupakan tonggak hukum perjanjian dalam sistem hukum
perbankan yang meliputi asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat perjanjian
(verbindende krachtder
overeenkomst) dan asas
kebebasan berkontrak (contractsvrijheid), dimana asas-asas
tersebut dipandang sebagai tiang penyangga hukum perjanjian.
Menurut pendapat Herlein Budiono, dari ketiga asas
dasar tersebut perlu ditambahkan lagi dengan satu asas
lagi, yakni asas
keseimbangan. Penambahan
asas keseimbangan sebagai asas fundamental dalam hukum perjanjian
tersebut sejalan pula dengan adanya asas keseimbangan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha dan pemerintah dalam arti
meteriil maupun spiritual. Menurut pandangan Atiyah, perjanjian atau kontrak
memiliki tiga tujuan dasar, sebagaimana digambarkan secara singkat berikut ini
:
1.
Tujuan pertama dari suatu kontrak ialah
memaksakan suatu janji dan melindungi harapan wajar yang muncul darinya;
2.
Tujuan kedua dari kontrak ialah mencegah
pengayaan (upaya memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil atau tidak
benar;
3.
Tujuan ketiga ialah to prevent cartain
kinds of harm.
Akibat hukum yang timbul dengan adanya perjanjian
itu adalah mengikatnya substansi perjanjian tersebut bagi bagi para pihak yang
menyepakatinya, hal ini sesuai dengan amanat asas kebebasan berkontrak
pada Pasal 1338
KUHPerdata dan asas
konsensualisme pada Pasal
1320 KUHPerdata.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum
perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa
adanya kesepakatan dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka
perjanjian yang dibuat itu dapat dibatalkan .
Menurut hukum perjanjian Indonesia, seseorang bebas
untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang
hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 KUHPerdata. Dari
ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak
manapun yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan
pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih
lanjut dalam pasal
1331, ditentukan bahwa
seandainya apabila seseorang membuat perjianjian dengan pihak
yang dianggap tidak cakap
menurut pasal 1330 KUHPerdata tersebut, maka perjanjian itu
tetap sah selama tidak dimintakan pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.
Jika dicermati asas kebebasan berkontrak berdasarkan
KUHPerdata, ternyata asas tersebut tidak bebas mutlak, hal ini disebabkan
karena adanya beberapa pembatasan yang terdapat dalam pasal- pasal pada
KUHPerdata, sehingga pemberlakuan terhadap asas dapat dibatasi.
Pasal 1320 angka (1) menentukan bahwa perjanjian
atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau kesepakatan
dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh kata
sepakat dari pihak lainnya. Kata lain asas kebebasan berkontrak ini bisa
dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
Pasal 1320 angka (2) menyatakan bahwa kebebasan
orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat
perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap
untuk membuat perjanjian sama sekali
tidak mempunyai kebebasan
untuk membuat perjanjian. Menurut pasal
1330 KUHPerdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat
perjanjian. Pasal 108
dan 110 menentukan bahwa istri
(wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum
tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun terhadap Pasal 108 dan 110 tersebut,
berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963
tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 KUHPerdata
tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku lagi.
Pasal 1320 angka (3) menentukan bahwa obyek
perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal
tertentu merupakan pokok
perjanjian, merupakan prestasi
yang harus dipenuhi
dalam suatu perjanjian. Prestasi
itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang
diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak
disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan seperti halnya penetapan suku
bunga kredit yang harus dibayar oleh debitur. Namun pada kenyataanya pihak bank
sewaktu-waktu dapat merubah suku bunga kredit yang diberlakukan tersebut
sedangkan suku bunga yang dirubah tersebut belum tentu dapat diperhitungkan berapa
besarannya oleh pihak debitur. Kenyataan ini tentunya bertolak belakang dengan
pendapat Romli Atmasasmita yang menyatakan bahwa suatu norma hukum perjanjian
yang baik harus memuat rumusan pasal yang pasti (lex certa), jelas (concise)
dan tidak membingungkan (unambiguous).
Adanya syarat bahwa prestasi harus tertentu atau
dapat ditentukan gunanya ialah
untuk menetapkan dan memberikan
kejelasan akan hak
dan kewajiban kedua
belah pihak jika
timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi kabur
atau dirasakan kurang jelas,
yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap
tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum.
Pasal 1320 jo.1337 menentukan bahwa para pihak tidak
bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut kausa yang dilarang oleh
undang-undang. Secara yuridis kausa atau sebab itu halal apabila tidak
dilarang oleh undang-undang
dan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal
ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum, dengan demikian dapat diartikan
bahwa apabila klausula-klausula perjanjian kredit yang bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terutama
bertentangan dengan Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18, maka perjanjian
kredit yang dibuat berakibat batal demi hukum.
Pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga
dapat disimpulkan melalui pasal 1338 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya
dilaksanakan dengan itikad baik. Karenanya para pihak tidak dapat menentukan
sekehendak hatinya klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjiian, terutama
praktek perjanjian kredit yang ada di perbankan tetapi harus didasarkan dan
dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk
misalnya paksaan atau penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.
Suatu perkembangan yang baru dalam menilai
perjanjian, yang lebih terkait dengan sebab dari perjanjian sebagai presetasi.
Dalam ilmu hukum keadaan tersebut disebut misbruik van omstandigheden
(penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan
kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendaknya
untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal
atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang
melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui
Yurisprudensi.
Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah
adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak yang
menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga adanya kehendak yang
bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya
suatu persetujuan tidak ada (kehendak yang cacat).
Jika demikian halnya maka jelas bahwa asas kebebasan
berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi banyak hal
yang dapat membatasi bekerjanya asas tersebut seperti terbatas oleh adanya asas
keseimbangan, tanggungjawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim
untuk menilai isi dari setiap kontrak.
Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang
dibuat dimana terdapat klausula baku yang merupakan kehendak
dari salah satu
pihak saja. Perjanjian seperti
itu dikenal dengan
sebutan perjanjian baku (standard of contract), yaitu setiap aturan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu badan atau perjanjian
yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh
konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku
dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan
konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Dalam suatu peristiwa hukum, terutama yang
menyangkut perjanjian baku tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak
yang membuat dan menentukan perjanjian secara sepihak atau
melakukan tindakan hukum sepihak. Pihak
yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai kedudukan ekonomi
yang kuat dibandingkan pihak debitur dan adanya pelanggaran hukum tersebut
mungkin saja dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (Onrechtmatigedaad) sebagaimana
ditentukan dalam Pasal
1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahnya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan melawan
hukum apabila memenuhi unsur- unsurnya yaitu:
1.
Ada perbuatan melawan hukumnya,
2.
Ada kesalahannya,
3.
Ada kerugiannya,
4.
Ada hubungan timbal balik antara unsur
1, 2 dan 3.
Yang dimaksudkan dengan perbuatan melawan hukum
diartikan seluas luanya meliputi hal- hal sebagai berikut:
1.
Perbuatan yang melanggar undang-undang
yang berlaku;
2.
Yang melanggar hak orang lain yang
dijamin oleh hukum;
3.
Perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku;
4.
Perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan;
5.
Perbuatan yang bertentangan dengan sikap
yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
Perbuatan ini dapat dilihat dari kejadian yang
dialami konsumen dimana produsen tidak memenuhi ketentuan atau standarisasi suatu produk
yang akhirnya merugikan konsumen bahkan sampai mengancam
jiwa konsumen. Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan bahwa “Setiap orang bertanggung
jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan
juga atas kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikannya kerugian
tersebut”.
Untuk
mengatasi permasalahan
tersebut, maka diupayakan perlindungan hukum
melalui peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan agar terwujudnya
keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak bank sebagai produsen dengan pihak
nasabah debitur sebagai konsumen, walaupun secara spesifik Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara khusus tentang
perjanjian kredit, namun masih terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur hak
dan kewajiban bagi para pihak yang memanfaatkan barang dan atau jasa. Selain
itu terdapat pula ketentuan yang mengatur tentang pencantuman klausula baku
yang sering digunakan dalam suatu perjanjian kredit di bank yang pada umumnya
berbentuk perjanjian baku (standart of contract) dimana bentuknya tertulis dan
isinya telah ditentukan secara sepihak oleh kreditur serta sifatnya memaksa
debitur untuk menyetujuinya.
Salah satu sumber permasalahan dari suatu perjanjian
baku adalah terdapatnya beberapa klausula dalam perjanjian tersebut, seperti
klausula penentuan suku bunga kredit dalam perjanjian kredit di perbankan yang
menyatakan bahwa “besaran tingkat suku bunga akan ditinjau dan ditetapkan
setiap saat oleh bank, dan pihak bank akan memberitahukan secara tertulis
kepada debitur mengenai perubahan tingkat suku bunga yang baru, pemberitahuan
perubahan suku bunga tersebut mengikat terhadap debitur”. Adanya klausula
semacam ini tentunya bisa memberatkan pihak debitur apabila suatu saat suku
bunga kredit mengalami kenaikan. Klausula berat sebelah ini dalam bahasa
Belanda disebut dengan onredelijk
bezwarend, atau dalam
bahasa Inggris disebut
dengan unreasonablyonerous. Salah
satu klausula berat sebelah tersebut adalah apa yang disebut dengan klausula
eksemsi (exemption clause), yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
exoneratie clausule.
Terhadap penggunaan klausula eksemsi, ada saran yang
simpatik datang dari Departemen Kehakiman negeri Belanda untuk menghadapi
klausula-klausula eksemsi dalam suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut :
1.
Membuat undang-undang yang bersifat
hukum memaksa yang melarang penggunaan klausula eksemsi.
2.
Memberikan kesempatan
kepada pemerintah untuk
mengesahkan klausula eksemsi
atas permintaan dari pihak yang berkepentingan;
3.
Dibukanya kemungkinan oleh undang-undang untuk
keikutsertaan
organisasi-organisasi konsumen dalam rangka perundingan-perundingan
dengan pihak yang membuat kontrak dengan klausula eksemsi;
4.
Undang-undang memberikan kewenangan
kepada ombudsman konsumen untuk mengajak pihak- pihak untuk mengubah
klausula-klausula eksemsi dalam kontrak-kontrak. Jika pihak pengusaha menolak
perundingan tersebut, ombudsman dapat memprosesnya secara hukum lewat
pengadilan khusus, seperti pengadilan Marknadsdomtol di Swedia.
Berkaitan dengan saran yang melarang penggunaan
klausula eksemsi yang biasa dijumpai dalam perjanjian kredit di perbankan, di
Indonesia upaya tersebut telah dijabarkan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan kedepannya telah dipersiapkan pula
Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan yang menyebutkan bahwa
perjanjian kredit dibuat secara tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh
Bank Indonesia dan sesuai dengan kelaziman di
dunia perbankan. Dalam penyusunan perjanjian kredit dalam bentuk
standar, Bank Indonesia harus memperhatikan ketentuan yang terdapat pada Pasal
63 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan dan ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur
tersebut tentunya dapat menimbulkan akibat hukum tersendiri yaitu perjanjian
yang telah dibuat tersebut memiliki konsekuensi batal demi hukum. Hal ini
sesuai pula dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa “setiap klausula baku yang
telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan batal
demi hukum”. Larangan yang sama juga disebutkan dalam Pasal 58 Rancangan Undang-Undang
tentang Perkreditan Perbankan apabila perjanjian kredit yang dibuat tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Perkreditan Perbankan tersebut berakibat batal demi hukum.
Dari hal tersebut dengan adanya Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kiranya dapat dikatakan bahwa rasio
adanya undang-undang tersebut adalah untuk :
1.
Menyeimbangkan daya tawar konsumen
terhadap pelaku usaha,
2.
Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur
dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh
undang-undang ini adalah kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan
konsumen, yang bermula dari “benih rahim ibu sampai tempat pemakaman dan segala
kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan
hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas
barang dan/atau jasa keutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya
apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Sejalan
dengan upaya perlindungan
hukum terhadap konsumen
tersebut, maka Bank Indonesia sejak tahun 2004 membuat suatu
visi yang dikenal dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dimana dari
program tersebut terdapat 6 (enam) pilar yang harus dilaksanakan oleh perbankan
Indonesia, yang salah satu pilarnya adalah perlindungan nasabah (konsumen).
Dari
adanya visi Arsitektur
Perbankan Indonesia ini,
maka Bank Indonesia
(BI) mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Paket Kebijakan Perbankan
Januari 2005 yang antara lain bertujuan memaksa bank memberikan perlindungan
yang lebih kuat kepada nasabah dengan menjamin hak-hak nasabah dalam
bertransaksi dengan bank. Dua dari delapan produk hukum yang diterbitkan pada
24 Januari 2005 yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah serta
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah memuat ketentuan yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan
upaya perlindungan konsumen.
Keberadaan peraturan mengenai transparansi informasi
produk bank sangat diperlukan untuk memberikan kejelasan kepada
nasabah mengenai manfaat
dan risiko yang
melekat pada produk tersebut. Peraturan ini menyaratkan
bahwa informasi yang disediakan untuk nasabah haruslah memenuhi
kriteria-kriteria yang ditetapkan, antara lain informasi mengenai karakteristik
produk bank yang sekurang-kurangnya meliputi :
1.
Nama produk bank;
2.
Jenis Produk Bank;
3.
Manfaat dan risiko yang melekat pada
produk bank;
4.
Persyaratan dan tata cara penggunaan
produk bank;
5.
Biaya-biaya yang melekat pada produk
bank;
6.
Perhitungan bunga atau bagi hasil dan
margin keuntungan;
7.
Jangka waktu berlakunya produk bank;
8.
Penerbit (issuer/originator) produk
bank.
Selain itu diatur pula bahwa bank dalam menyampaikan
informasi harus dilakukan dengan memenuhi standar tertentu, antara lain harus
dapat dibaca secara jelas, tidak menyesatkan (misliead), tidak etis (misconduct)
serta mudah dimengerti.
Berkaitan dengan perubahan (kenaikan) suku bunga
kredit, dimana bunga merupakan bagian dari karakteristik produk bank, dan
apabila pihak bank akan melakukan perubahan dari karakteristik produk bank,
maka pihak bank diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada setiap nasabah
yang sedang memanfaatkan produk bank (kredit) paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sebelum perubahan, penambahan dan/atau pengurangan pada karakteristik
produk bank tersebut.
Selanjutnya Bank Indonesia juga mengeluarkan Paket
Kebijakan Perbankan Januari 2006 yaitu salah satunya berupa Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah
dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubagan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan yang
merupakan realisasi dari upaya Bank Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan
usaha perbankan dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara pelaku
usaha (bank) dengan konsumen (nasabah). Sebagai bagian dari Paket Kebijakan
Perbankan, penerbitan ketiga ketentuan tersebut akan dapat membawa dimensi baru
dalam pengaturan perbankan dengan turut diperhatikannya pula kepentingan
nasabah secara eksplisit sebagai aspek penting yang turut mempengaruhi
perkembangan perbankan nasional ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar