My Blog


Sabtu, 04 Mei 2013

Review Jurnal Aspek Hukum dalam Ekonomi (3)


Review 3 : Tinjauan Pustaka

Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Debitur
Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit Bank
(Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen)

The Legal Protection of Debitor in Case of The Increasing of Credit Interest
(s Review of The Law of Consumer Protection)

OLEH :
Didit Saltriwiguna
Legal Officer Dept. Kesekretariatan Kantor Pusat BPD Kalimantan Timur
Jl. Jend. Sudirman No. 33 Samarinda Kaltim – email : dit_zal@yahoo.co.id

E.     Tinjauan Pustaka
1.      Tinjauan Bidang Perlindungan Konsumen
Rumusan perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yaitu “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya  yang  menjamin adanya  kepastian hukum”, diharapkan sebagai  benteng untuk  meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda “konsumer” dari bahasa latin “consumere” yang berarti pemakai terakhir dari benda atau jasa yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha. Secara  harfiah arti  kata  consumere itu  adalah lawan  kata  dari  produsen atau  setiap  orang  yang menggunakan barang.
Secara normatif pengertian dari konsumen ini terdapat dalam Pasal 1  ayat (2) Undang- Undang Nomor 8  Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi  kepentingan diri  sendiri,  keluarga,  orang  lain,  maupun  mahluk  hidup  lain  dan  tidak  untuk diperdagangkan”.
Hubungan  yang  terjadi  antara  pelaku  usaha  dengan  konsumen  adalah  hubungan yang berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara satu dengan yang lain. Untuk lebih memahami maka akan diberikan juga pengertian tentang pelaku  usaha,  yaitu  “setiap  orang  perseorangan atau  badan  usaha,  baik  yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pelaku usaha adalah penghasil barang dan/atau jasa melalui suatu proses produksi dan kemudian disalurkan kepada masyarakat sebagai konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan barang adalah “setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak mauapun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”. Sedangkan yang dimaksud dengan jasa adalah “Setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau  prestasi  yang  disediakan bagi  masyarakat  untuk  dimanfaatkan oleh  konsumen”.
Dalam hukum perlindungan konsumen kadang-kadang digunakan istilah produk, yang meliputi barang dan/atau jasa. Sebagai contoh dalam indutri perbankan sering digunakan istilah produk perbankan yang tidak lain adalah jasa perbankan.
Kedudukan konsumen mempunyai kekutan tawar-menawar yang lebih sedikit  dari pada mereka yang terlibat dalam penyediaan barang dan/atau jasa yaitu pelaku usaha, oleh karena itu perlu di tumbuhkan kesadaran, kepedulian, pendidikan, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Karenanya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya, konsumen memiliki hak-hak yang sebagiamana  diatur  dalam  Pasal  4  Undang-Undang Nomor  8  Tahun  1999  tentang  Perlindungan Kosumen (UUPK).
Selain memiliki hak, konsumen tentunya juga  memiliki kewajiban dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang antara lain diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagaimana subyek hukum yang lainnya, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban yang harus diperhatikan oleh pihak lain, agar hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat berlangsung secara timbal balik dan bukan hanya menguntungkan salah satu pihak saja.

2.      Tinjauan Bidang Perbankan
Istilah kata bank berasal dari kata bahasa Italy “banca” yang berarti bence yaitu suatu tempat duduk. Sebab pada zaman pertengahan, pihak bankir Italia yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk-duduk di halaman pasar.
Definisi bank secara hukum adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masayarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk- bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Adanya penjelasan tersebut, maka  dapat diketahui bahwa  bank  merupakan salah  satu  pelaku usaha  yang bergerak di  bidang perekonomian.
Praktek di Indonesia keberadaan jenis bank dapat dikelompokan menjadi dua jenis bank, yaitu terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Adapun pengertian Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dilihat dari fungsi, tugas dan tanggung jawabnya, maka bank memiliki dua kedudukan yang berbeda, yaitu kedudukan bank sebagai debitur jika bank berhubungan dengan pihak yang mempercayakan simpanan dananya di bank. Kedudukan bank sebagai Kreditur jika bank berhubungan dengan pihak yang memerlukan dana dari bank.
Sebagaimana fokus dalam penulisan ini, maka fokusnya adalah kedudukan bank sebagai kreditur. Untuk  itu  dijelaskan pula  pengertian bank  jika  kedudukannya sebagai  kreditur. Karena definisi tentang kreditur tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas  Undang-Undang Nomor  7  Tahun 1992  tentang Perbankan,  maka  pengertian kreditur  dapat dijumpai dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan. Definisi Kreditur adalah bank yang menyediakan kredit kepada debitur berdasarkan perjanjian kredit.
Pengertian nasabah secara umum adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Pengertian ini dapat dijumpai pada Pasal 1 angka (16) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas  Undang-Undang Nomor  7  Tahun  1992  tentang  Perbankan.  Sedangkan  pengertian  menurut jenisnya, nasabah dapat digolongkan menjadi :
1.      Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
2.      Nasabah Debitur adalah  nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Adapun dalam  Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan  menyebutkan  dengan istilah debitur saja yang merupakan bagian dari nasabah, yaitu orang, badan hukum, atau badan lainnya yang menerima kredit dari kreditur berdasarkan perjanjian kredit.

3.      Tinjauan Jasa Perkreditan Bank
Kredit merupakan salah satu kegiatan utama yang lazim dilakukan di industri perbankan. Secara etimologi istilah kredit berasal dari bahasa latin “credere”, bahasa Belanda “vertrouwen”, bahasa Inggris “believe” atau “trust of confidence”, yang berarti kepercayaan. Kata “credere” atau “creditum” berasal dari kata “credo” berarti mempercayakan.
Pengertian kredit secara yuridis adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pengertian ini sedikit berbeda dengan Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan yang menyebutkan arti kredit adalah penyediaan uang dan/atau tagihan yang dipersamakan dengan itu yang disediakan oleh kreditur kepada debitur berdasarkan perjanjian kredit.
Definisi tentang perjanjian kredit itu sendiri tidak dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun  1998  maupun  dalam  KUH  Perdata.  Definisi  perjanjian  kredit  dapat  ditemukan  dalam Rancangan  Undang-Undang  tentang  Perkreditan  Perbankan  yang  menyebutkan  bahwa  perjanjian kredit adalah kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati.
Suatu perjanjian lahir dengan adanya kesepakatan yang artinya kesepakatan kehendak para pihak yang merupakan persetujuan. Kesepakatan tidak akan terjadi apabila ada kekhilafan, paksaan dan penipuan. Sahnya suatu perjanjian tergantung pada adanya empat syarat, yaitu:
1.        Sepakat, mereka yang mengikatkan dirinya;
2.        Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3.        Suatu hal tertentu;
4.        Suatu sebab yang halal.
Dalam suatu perjanjian ada pula hal yang harus diperhatikan, yaitu berupa asas-asas hukum perjanjian. Ada beberapa macam asas yang dapat diterapkan dalam perjanjian, yaitu antara lain :
1.         Asas Konsensualisme, yaitu asas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat;
2.         Asas Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para pihak yang membuat perjanjian;
3.         Asas kekuatan mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku;
4.         Asas  Persamaan  Hukum,  yaitu  bahwa  setiap  orang  dalam  hal  ini  para  pihak  mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum;
5.         Asas Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan;
6.         Asas Moral adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian;
7.         Asas Kepastian Hukum yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang- undang bagi para pembuatnya;
8.         Asas  Kepatutan maksudnya bahwa isi  perjanjian tidak  hanya  harus  sesuai  dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang;
9.         Asas Kebiasaan, maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347 KUHPerdata yang berbunyi hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak  dengan  tegas  dinyatakan.    Hal  ini  merupakan  perwujudan dari  unsur  naturalia  dalam perjanjian.
Semua asas-asas dan ketentuan tersebut dapat diterapkan pula pada perjanjian yang dilakukan dalam perjanjian kredit perbankan yang dapat menimbulkan hubungan antara bank dengan nasabah dan akibat hukum dengan ditandatanganinya suatu perjanjian adalah mengikatnya substansi perjanjian tersebut  bagi  para  pihak  yang  menyepakatinya,  hal  ini  sesuai  dengan  amanat  asas  kebebasan berkontrak pada Pasal 1338 KUHPerdata dan asas konsensualisme pada Pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam  prektek  bisnis  perbankan,  pengembalian  utang  diikuti  dengan  adanya  balas  jasa (bunga) atau imbalan tertentu. Balas jasa atau Imbalan yang dikenal dalam sistem perbankan konvensional adalah adanya  bunga, baik  itu  bunga  simpanan maupun bunga pinjaman. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berlaku di industri perbankan tidak ada memberikan definisi tentang arti bunga, namun bunga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).
Pemberian suku bunga kredit oleh bank kepada debitur secara yuridis banyak diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan salah satunya dapat dijumpai dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/26/PBI/2004 tentang Suku Bunga dan Nisbah Atas Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil Kredit Program. Ketentuan dalam peraturan tersebut menyebutkan suku bunga kredit dari bank kepada debitur ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen) setahun.
Metode pembebanan bunga yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Flate rate
Pembebanan bunga setiap bulan tetap dari jumlah pinjamannya, demikian pula pokok pinjaman setiap bulan juga dibayar sama, sehingga angsuran setiap bulan juga sama sampai kredit tersebut lunas. Jenis flat rate ini diberikan kepada kredit yang bersifat konsumtif seperti pembelian rumah tinggal, pembelian mobil atau kredit konsumtif lainnya.
2.      Sliding rate
Pembebanan bunga setiap bulan dihitung dari sisa pinjamannya, sehingga jumlah bunga yang dibayar nasabah setiap bulannya menurun seiring dengan turunnya pokok pinjaman. Akan tetapi pembayaran pokok pinjaman setiap bulan sama. Angsuran nasabah (pokok pinjaman ditambah bunga) otomatis dari bulan ke bulan semakin menurun. Jenis sliding rate ini biasanya diberikan kepada sektor produktif, dengan maksud si nasabah merasa tidak terbebani oleh pinjamannya.
3.      Foating rate
Metode floating rate  menetapkan besar  kecilnya bunga  kredit dikaitkan dengan bunga  yang berlaku di pasar uang, sehingga bunga yang dibayar setiap bulan sangat tergantung dari bunga pasar uang pada bulan tersebut. Jumlah bunga yang dibayarkan dapat lebih tinggi atau lebih rendah atau sama dari bulan yang bersangkutan. Pada akhirnya hal ini juga berpengaruh terhadap angsuran setiap bulan, yaitu bisa tetap, naik atau turun.
Dalam bidang perkreditan pada umumnya terdapat dua macam jenis bunga yang umumnya digunakan, yaitu bunga flat dan bunga efektif. Untuk kredit di perbankan umumnya menggunakan sistem suku bunga efektif, sementara untuk kredit di BPR, koperasi, leasing dan lembaga keuangan lainnya, umumnya menggunakan sistem suku bunga flat.
Suku Bunga efektif adalah bunga yang dibebankan pada besarnya outstanding pinjaman (sisa hutang) pada bulan yang bersangkutan, sementara suku bunga flat adalah bunga yang dihitung dari besarnya pokok hutang di awal pinjaman kemudian dibagi rata oleh jangka waktu kredit.
Jenis suku bunga juga dibedakan antara suku bunga fixed (tetap) dan floating (mengambang). Suku  bunga  fixed  artinya  untuk  bunga  kredit  tersebut  selama  jangka  waktu  tertentu  yang  telah ditetapkan di awal perjanjian dan tidak akan berubah besarannya.
Untuk bunga floating artinya sejak awal pemberian kredit, tingkat suku bunga yang berlaku mengikuti perubahan bunga pasar. Bunga floating (suku bunga mengambang), yang merupakan tingkat bunga dasar yang bersangkutan (base lending rate atau prime rate), dimana saat ini perbankan di Indonesia menggunaka tingkat suku bunga yang mengacu pada tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai prime rate.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar