Review
3 : Tinjauan Pustaka
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Debitur
Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit Bank
(Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen)
The Legal
Protection of Debitor in Case of The Increasing of Credit Interest
(s Review
of The Law of Consumer Protection)
OLEH :
Didit Saltriwiguna
Legal Officer Dept. Kesekretariatan Kantor Pusat BPD
Kalimantan Timur
Jl. Jend. Sudirman No. 33 Samarinda Kaltim – email :
dit_zal@yahoo.co.id
E.
Tinjauan
Pustaka
1.
Tinjauan
Bidang Perlindungan Konsumen
Rumusan perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
yaitu “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum”,
diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang
merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda
“konsumer” dari bahasa latin “consumere” yang berarti pemakai terakhir dari
benda atau jasa yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha. Secara harfiah arti
kata consumere itu adalah lawan
kata dari produsen atau
setiap orang yang menggunakan barang.
Secara normatif pengertian dari konsumen ini
terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut : “Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup
lain dan tidak
untuk diperdagangkan”.
Hubungan
yang terjadi antara
pelaku usaha dengan
konsumen adalah hubungan yang berkesinambungan. Hubungan
tersebut terjadi karena keduanya mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup
tinggi antara satu dengan yang lain. Untuk lebih memahami maka akan diberikan
juga pengertian tentang pelaku
usaha, yaitu “setiap
orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pelaku usaha adalah penghasil barang dan/atau jasa
melalui suatu proses produksi dan kemudian disalurkan kepada masyarakat sebagai
konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan barang adalah “setiap benda baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak mauapun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun
tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen”. Sedangkan yang dimaksud dengan jasa adalah “Setiap
layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat
untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.
Dalam
hukum perlindungan konsumen kadang-kadang digunakan istilah produk, yang
meliputi barang dan/atau jasa. Sebagai contoh dalam indutri perbankan sering
digunakan istilah produk perbankan yang tidak lain adalah jasa perbankan.
Kedudukan konsumen mempunyai kekutan tawar-menawar
yang lebih sedikit dari pada mereka yang
terlibat dalam penyediaan barang dan/atau jasa yaitu pelaku usaha, oleh karena
itu perlu di tumbuhkan kesadaran, kepedulian, pendidikan, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkan dan
mengembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Karenanya untuk
meningkatkan harkat dan martabatnya, konsumen memiliki hak-hak yang
sebagiamana diatur dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang
Perlindungan Kosumen (UUPK).
Selain memiliki hak, konsumen tentunya juga memiliki kewajiban dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang antara lain diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagaimana subyek hukum yang lainnya, pelaku usaha
juga memiliki hak dan kewajiban yang harus diperhatikan oleh pihak lain, agar
hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat berlangsung secara timbal
balik dan bukan hanya menguntungkan salah satu pihak saja.
2.
Tinjauan
Bidang Perbankan
Istilah kata bank berasal dari kata bahasa Italy
“banca” yang berarti bence yaitu suatu tempat duduk. Sebab pada zaman
pertengahan, pihak bankir Italia yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan
usahanya tersebut dengan duduk-duduk di halaman pasar.
Definisi bank secara hukum adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masayarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk- bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Adanya penjelasan tersebut,
maka dapat diketahui bahwa bank
merupakan salah satu pelaku usaha
yang bergerak di bidang
perekonomian.
Praktek di Indonesia keberadaan jenis bank dapat
dikelompokan menjadi dua jenis bank, yaitu terdiri dari Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Adapun pengertian Bank
Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dilihat dari fungsi, tugas dan tanggung jawabnya,
maka bank memiliki dua kedudukan yang berbeda, yaitu kedudukan bank sebagai
debitur jika bank berhubungan dengan pihak yang mempercayakan simpanan dananya
di bank. Kedudukan bank sebagai Kreditur jika bank berhubungan dengan pihak
yang memerlukan dana dari bank.
Sebagaimana fokus dalam penulisan ini, maka fokusnya
adalah kedudukan bank sebagai kreditur. Untuk
itu dijelaskan pula pengertian bank jika
kedudukannya sebagai kreditur.
Karena definisi tentang kreditur tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, maka pengertian kreditur dapat dijumpai dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Perkreditan Perbankan. Definisi Kreditur adalah bank yang menyediakan
kredit kepada debitur berdasarkan perjanjian kredit.
Pengertian nasabah secara umum adalah pihak yang
menggunakan jasa bank. Pengertian ini dapat dijumpai pada Pasal 1 angka (16)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang
Perbankan. Sedangkan pengertian
menurut jenisnya, nasabah dapat digolongkan menjadi :
1. Nasabah
Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
2. Nasabah
Debitur adalah nasabah yang memperoleh
fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan.
Adapun dalam Rancangan Undang-Undang Perkreditan
Perbankan menyebutkan dengan istilah debitur saja yang merupakan
bagian dari nasabah, yaitu orang, badan hukum, atau badan lainnya yang menerima
kredit dari kreditur berdasarkan perjanjian kredit.
3.
Tinjauan
Jasa Perkreditan Bank
Kredit merupakan salah satu kegiatan utama yang
lazim dilakukan di industri perbankan. Secara etimologi istilah kredit berasal
dari bahasa latin “credere”, bahasa Belanda “vertrouwen”, bahasa Inggris
“believe” atau “trust of confidence”, yang berarti kepercayaan. Kata “credere”
atau “creditum” berasal dari kata “credo” berarti mempercayakan.
Pengertian kredit secara yuridis adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga. Pengertian ini sedikit berbeda dengan Rancangan Undang-Undang tentang
Perkreditan Perbankan yang menyebutkan arti kredit adalah penyediaan uang
dan/atau tagihan yang dipersamakan dengan itu yang disediakan oleh kreditur
kepada debitur berdasarkan perjanjian kredit.
Definisi tentang perjanjian kredit itu sendiri tidak
dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 maupun dalam
KUH Perdata. Definisi
perjanjian kredit dapat
ditemukan dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Perkreditan Perbankan
yang menyebutkan bahwa
perjanjian kredit adalah kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur
dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal
mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam
jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati.
Suatu perjanjian lahir dengan adanya kesepakatan
yang artinya kesepakatan kehendak para pihak yang merupakan persetujuan.
Kesepakatan tidak akan terjadi apabila ada kekhilafan, paksaan dan penipuan.
Sahnya suatu perjanjian tergantung pada adanya empat syarat, yaitu:
1.
Sepakat, mereka yang mengikatkan
dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal.
Dalam suatu perjanjian ada pula hal yang
harus diperhatikan, yaitu berupa asas-asas hukum perjanjian. Ada beberapa macam
asas yang dapat diterapkan dalam perjanjian, yaitu antara lain :
1.
Asas Konsensualisme, yaitu asas
kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada seketika setelah ada kata
sepakat;
2.
Asas Kepercayaan, yang harus ditanamkan
diantara para pihak yang membuat perjanjian;
3.
Asas kekuatan mengikat, maksudnya bahwa
para pihak yang membuat perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan
kepatutan yang berlaku;
4.
Asas
Persamaan Hukum, yaitu
bahwa setiap orang
dalam hal ini
para pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum;
5.
Asas Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam
melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan;
6.
Asas Moral adalah sikap moral yang baik
harus menjadi motivasi para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian;
7.
Asas Kepastian Hukum yaitu perjanjian
yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang- undang bagi para
pembuatnya;
8.
Asas
Kepatutan maksudnya bahwa isi
perjanjian tidak hanya harus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan
Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang;
9.
Asas Kebiasaan, maksudnya bahwa
perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi
pasal 1347 KUHPerdata yang berbunyi hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya
diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian,
meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan. Hal ini
merupakan perwujudan dari unsur
naturalia dalam perjanjian.
Semua asas-asas dan ketentuan tersebut
dapat diterapkan pula pada perjanjian yang dilakukan dalam perjanjian kredit
perbankan yang dapat menimbulkan hubungan antara bank dengan nasabah dan akibat
hukum dengan ditandatanganinya suatu perjanjian adalah mengikatnya substansi
perjanjian tersebut bagi para
pihak yang menyepakatinya, hal
ini sesuai dengan
amanat asas kebebasan berkontrak pada Pasal 1338
KUHPerdata dan asas konsensualisme pada Pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam
prektek bisnis perbankan,
pengembalian utang diikuti
dengan adanya balas
jasa (bunga) atau imbalan tertentu. Balas jasa atau Imbalan yang dikenal
dalam sistem perbankan konvensional adalah adanya bunga, baik
itu bunga simpanan maupun bunga pinjaman. Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berlaku di
industri perbankan tidak ada memberikan definisi tentang arti bunga, namun
bunga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki
simpanan) dan harga yang harus dibayar nasabah kepada bank (nasabah yang
memperoleh pinjaman).
Pemberian suku bunga kredit oleh bank
kepada debitur secara yuridis banyak diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan salah satunya dapat dijumpai dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/26/PBI/2004 tentang Suku Bunga dan Nisbah Atas Pembiayaan Dengan
Prinsip Bagi Hasil Kredit Program. Ketentuan dalam peraturan tersebut
menyebutkan suku bunga kredit dari bank kepada debitur ditetapkan sebesar 14% (empat
belas persen) setahun.
Metode
pembebanan bunga yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Flate
rate
Pembebanan bunga setiap
bulan tetap dari jumlah pinjamannya, demikian pula pokok pinjaman setiap bulan
juga dibayar sama, sehingga angsuran setiap bulan juga sama sampai kredit
tersebut lunas. Jenis flat rate ini diberikan kepada kredit yang bersifat
konsumtif seperti pembelian rumah tinggal, pembelian mobil atau kredit
konsumtif lainnya.
2. Sliding
rate
Pembebanan bunga setiap
bulan dihitung dari sisa pinjamannya, sehingga jumlah bunga yang dibayar
nasabah setiap bulannya menurun seiring dengan turunnya pokok pinjaman. Akan
tetapi pembayaran pokok pinjaman setiap bulan sama. Angsuran nasabah (pokok
pinjaman ditambah bunga) otomatis dari bulan ke bulan semakin menurun. Jenis
sliding rate ini biasanya diberikan kepada sektor produktif, dengan maksud si
nasabah merasa tidak terbebani oleh pinjamannya.
3. Foating
rate
Metode floating rate menetapkan besar kecilnya bunga kredit dikaitkan dengan bunga yang berlaku di pasar uang, sehingga bunga
yang dibayar setiap bulan sangat tergantung dari bunga pasar uang pada bulan
tersebut. Jumlah bunga yang dibayarkan dapat lebih tinggi atau lebih rendah
atau sama dari bulan yang bersangkutan. Pada akhirnya hal ini juga berpengaruh
terhadap angsuran setiap bulan, yaitu bisa tetap, naik atau turun.
Dalam bidang perkreditan pada umumnya
terdapat dua macam jenis bunga yang umumnya digunakan, yaitu bunga flat dan
bunga efektif. Untuk kredit di perbankan umumnya menggunakan sistem suku bunga
efektif, sementara untuk kredit di BPR, koperasi, leasing dan lembaga keuangan
lainnya, umumnya menggunakan sistem suku bunga flat.
Suku Bunga efektif adalah bunga yang
dibebankan pada besarnya outstanding pinjaman (sisa hutang) pada bulan yang bersangkutan,
sementara suku bunga flat adalah bunga yang dihitung dari besarnya pokok hutang
di awal pinjaman kemudian dibagi rata oleh jangka waktu kredit.
Jenis suku bunga juga dibedakan antara
suku bunga fixed (tetap) dan floating (mengambang). Suku bunga
fixed artinya untuk
bunga kredit tersebut
selama jangka waktu
tertentu yang telah ditetapkan di awal perjanjian dan tidak
akan berubah besarannya.
Untuk bunga floating artinya sejak awal
pemberian kredit, tingkat suku bunga yang berlaku mengikuti perubahan bunga
pasar. Bunga floating (suku bunga mengambang), yang merupakan tingkat bunga
dasar yang bersangkutan (base lending rate atau prime rate), dimana saat ini
perbankan di Indonesia menggunaka tingkat suku bunga yang mengacu pada tingkat bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai prime rate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar