Review
2 : Kerangka Teori
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Debitur
Akibat Kenaikan Suku Bunga Kredit Bank
(Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen)
The Legal
Protection of Debitor in Case of The Increasing of Credit Interest
(s Review
of The Law of Consumer Protection)
OLEH :
Didit Saltriwiguna
Legal Officer Dept. Kesekretariatan Kantor Pusat BPD
Kalimantan Timur
Jl. Jend. Sudirman No. 33 Samarinda Kaltim – email :
dit_zal@yahoo.co.id
D.
Kerangka
Teori
Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Sekalipun pernyataan itu singkat tetapi maknanya sangat luas, karena
mewajibkan negara dan semua warga negara, tanpa melihat kedudukannya, tunduk
pada hukum.
Konsep
negara hukum yang dianut Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare staat), bukan negara penjaga
malam (nachtwakerstaat). Konsep rechtsaat dan konsep rule of law selalu dikaitkan dengan
konsep perlindungan hukum, karena tidak lepas dari gagasan untuk memberi
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Menurut
Hadjon, baik itu konsep “the rule of law” maupun konsep “rechtstaat” yang menempatkan pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik sentral, tetapi
negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsaat
atau the rule of law. Rechtstaat mengedepankan wetmatigheid, yang kemudian menjadi rechtsmatigheid, sedangkan the
rule of law mengutamakan prinsip equality
before the law. Sebaliknya, untuk negara hukum Indonesia yang berdasarkan
pada Pancasila mengedepankan titik sentral adalah keserasian hubungan antara
pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan dalam hubungan pemerintah dan
rakyat. Berdasarkan asas ini akan berkembang elemen lain dari konsep negara
hukum Pancasila, yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang proposional antara
kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah sedangkan
peradilan merupakan sarana terakhir dan tentang hak-hak asasi manusia tidaklah
hanya menekan hak atau kewajiban tetapi terjalinnya suatu keseimbangan antara
“hak” dan “kewajiban” asasi ini.
Kehadiran
hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain
itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu
bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu
dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut.
Sejalan dengan hal ini, van Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah
untuk mengatur pergaulan hidup secara damai.
Hukum menghendaki perdamaian. Hukum dapat mempertahankan perdamaian jika
dia berhasil menjaga keseimbangan antar kepentingan manusia yang selalu
bertentangan satu sama lain. Hukum itu memandu dan melayani masyarakat. Hukum
akan dicari oleh manusia, manakala ia mampu berperan dalam tugasnya memandu
serta melayani masyarakat, sehingga
tidak berlebihan jika fungsi utama dari
hukum itu adalah untuk keadilan. Hal ini sejalan dengan teori keadilan
(justice) oleh Adam Smith yang mengatakan tujuan keadilan adalah untuk
melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure from injury).
Konsep
perlindungan hukum atas suatu kepentingan tertentu, merupakan manifestasi dari
prasyarat untuk masuk dalam phase “welfare state” (Negara kesejahteraan).
Fenomena Negara kesejahteraan (welfare state) merupakan fenomena penting di
akhir abad ke-19 dengan gagasan bahwa negara didorong untuk semakin
meningkatkan perannya dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat, termasuk masalah-masalah perekonomian yang dalam tradisi
liberalisme sebelumnya cenderung dianggap sebagai urusan masyarakat sendiri.
Dikaitkan
dengan konsep negara kesejahteraan yang dianut Indonesia (welfare staats), maka
setiap warga negara berhak untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusian
dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan dan kecerdasan,
perlu adanya perlindungan
hukum bagi masyarakat sebagai konsumen yang kelak akan
mengkonsumsi barang dan jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik dan
dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga apa yang menjadi
tujuan dari hukum itu sendiri yaitu kesejahteraan bisa dicapai dengan baik,
salah satunya melalui upaya pemberdayaan dan perlindungan hukum.
Perlindungan
hukum barasal dari bahasa Belanda berbunyi rechtsbercherming van de bergers
tegen de overhead. Pengertian
perlindungan hukum itu sendiri adalah segala bentuk tindakan yang bertujuan
memberikan kondisi aman, nyaman dan berkepastian hukum bagi subyek hukum baik
orang perorangan (persoon) maupun badan
hukum (rechtpersoon). Perlindungan hukum
ini dilakukan tentunya untuk
membatasi dan menghindari
terjadinya suatu tindakan
yang dilakukan secara sewenang-wenang.
Berkaitan
dengan tema penulisan ini, yaitu adanya hubungan hukum antara pelaku usaha dan
konsumen, dimana keduanya harus mendapatkan perlindungan hukum oleh negara
sesuai dengan tugas negara dalam alenia 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang salah
satunya adalah memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Sejalan dengan hal ini pula, maka Hadjon
menjelaskan ada 2 macam bentuk perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu :
- Perlindungan
Hukum Preventif : Kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan
keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk definitive. Bertujuan mencegah terjadinya sengketa;
- Perlindungan
Hukum Refresif : Bertujuan menyelesaikan sengketa.
Konsep perlindungan hukum memiliki signifikasi dengan perlindungan
konsumen dalam konteks adanya peran pemerintah melalui pembentukan hukum guna
melindungi pihak yang lemah. Masyarakat Indonesia yang notabene konsumen,
sering kali dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa tidak seoptimal yang
diharapkan. Karena itu diperlukan adanya suatu perlindungan bagi konsumen untuk
memberikan hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh konsumen.
Upaya perlindungan bagi konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tujuan yang hendak dicapai dalam
perlindungan konsumen mempunyai jangkauan yang sangat luas. Tujuan ini secara
yuridis telah digambarkan pula dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Apabila membicarakan perlindungan
konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya
hak-hak konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa hingga akibat- akibat dari
pemakaian barang dan jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua
aspeknya itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Perlindungan terhadap kemungkinan
diserahkan kepada konsumen barang dan jasa yang tidak sesuai dengan apa yang
telah disepakati atau melanggar undang-undang.
2.
Perlindungan terhadap diberlakukannya
kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil.
Istilah mengenai hukum yang
mempersoalkan konsumen, AZ. Nasution menjelaskan ada dua istilah yang berbeda,
yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Perbedaannya yaitu hukum
perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen.
Hukum konsumen menurut AZ. Nasution
adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
antara berbagai pihak satu sama lain barkaitan dengan barang dan atau jasa
konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen
diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan penyedia barang
dan atau jasa konsumen.
Meskipun ada perbedaan mengenai definisi
tersebut, pada prinsipnya kedua hal
tersebut membicarakan hal yang sama tantang adanya kepentingan hukum
mengenai hak-hak konsumen yang diatur dan dilindungi dalam hukum serta
bagaimana implementasinya di dalam kehidupan masyarakat, dengan demikian hukum
perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum
yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul
dalam usaha-usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Karenanya letak
kedudukan hukum perlindungan konsumen ini barada dalam kajian hukum ekonomi.
Pengertian ini didasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa hukum ekonomi
adalah “seluruh peraturan dan pemikiran
hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi dan
cara- cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara adil dan merata, sesuai
dengan hak asasi manusia”.
Selain berada dalam kajian hukum
ekonomi, keberadaan hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan
mempunyai keterkaitan dengan berbagai aspek hukum lainnya yaitu aspek hukum
publik dan aspek hukum privat/perdata serta terkait dengan cabang-cabang hukum
yang lain, karena pada tiap aspek hukum dan cabang hukum itu juga mengatur
tentang konsumen meskipun tidak secara spesifik.
Aspek hukum privat/perdata merupakan
salah satu aspek hukum yang banyak menggunakan asas-asas hukum mengenai
hubungan/masalah konsumen dapat dijumpai dalam buku ketiga tentang perikatan
dan buku
keempat mengenai pembuktian dan daluarsa.
Buku ketiga memuat
berbagai hubungan hukum konsumen. Seperti perikatan, baik yang terjadi
berdasarkan perjanjian, maupun yang perikatan yang lahir berdasarkan
undang-undang sehingga lahirlah hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat
perjanjian tersebut.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya. Berlakunya ketentuan ini, maka sahihlah
setiap perjanjian yang dibuat secara sah, bahkan kekuatannya bisa dipersamakan
dengan kekuatan undang-undang.
Demikian pula perjanjian yang terjadi di
industri perbankan khususnya perkreditan, dimana lebih dikenal dengan
perjanjian kredit dalam bentuk tertulis. Kendati demikian perjanjian di bank
umumnya merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar yang
dibuat/ditentukan oleh salah satu pihak, terutama ditentukan oleh pihak yang
kuat dari segi ekonomi, seperti antara pihak bank dengan nasabah debitur.
Biasanya pihak bank telah memiliki format tersendiri, dimana para pihak dalam
perjanjian kredit tinggal mengisi data pribadi dan data tentang pinjaman yang
diambil, sedangkan data- data lainnya sudah dicetak secara baku.
Sutan Remy Sjahdeni menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh
klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut
jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lain yang spesifik
dari objek yang diperjanjikan.
Pencantuman klausula baku banyak
menimbulkan permasalahan hukum antara para pihak dalam hubungan
dengan pemberlakuan perjanjian
baku/standar. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa keabsahan
perjanjian baku/standar sulit diterima. Hal ini misalnya :
1.
Kedudukan pihak
pembuat kontrak baku
dalam transaksi yang
bersangkutan sama seperti pembentuk undang-undang swasta (Legio
Particuliere wetgever);
2.
Perjanjian baku tidak lain dari
perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract);
3.
Terutama
di negara-negara yang menganut
sistem Common Law,
berlaku doktrin
Unconscionability. Doktrin Unconscionability ini mengajarkan bahwa hakim dapat
mengesampingkan berlakunya suatu kontrak (sebagian atau seluruhnya) jika terdapat klausul dalam kontrak tersebut yang
seyogianya tidak mungkin dibuat, atau kalaupun dibuat, seyogianya tidak mungkin
diterima oleh orang yang jujur dan adil (a fair and honest man).
Prinsip-prinsip perlindungan konsumen
dalam hubungannya dengan
eksistensi perjanjian baku ditentukan
oleh Pasal 18
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa dalam suatu perjanjian baku
dilarang dengan ancaman batal demi hukum terhadap hal-hal yang telah diatur
dalam pasal tersebut.
Adanya ketentuan tersebut, maka setiap
perjanjian kredit yang pada umumnya bersifat baku, baik yang sudah ada maupun
yang akan dibuat dalam praktek perkreditan bank setidaknya harus menyesuaikan
dengan ketentuan yang ada pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar