Review 3 :
Strategi Pengembangan Koperasi
Strategi Koperasi dalam Menghadapi
Iklim
Usaha yang Kurang Kondusif
Oleh :
Slamet
Subandi*)
Infokop
Volume 16 - September 2008 : 102-125
- Strategi
Pengembangan Koperasi
Tidaklah
terlalu mengherankan bila meskipun berbagai permasalahan yang sejak beberapa tahun
lalu telah dirasakan menjadi gangguan bagi ekonomi rakyat, namun sampai saat
inipun masalah tersebut belum teratasi. Hal tersebut dikarenakan antara lain
masih terbatasnya kemampuan koperasi untuk mengakses pada sumber modal,
teknologi, pasar, informasi bisnis, rendahnya kuwalitas, kelembagaan, manajemen
dan organisasi KUMKM.
Sementara
itu tantangan lain yang tidak kalah pentingnya yang juga menghadang
ekonomi rakyat adalah kemampuan dan kesanggupannya untuk berpotensi secara
lebih produktif dan lebih efisien sebagai wujud pelaku ekonomi yang
berkeunggulan kompetitif dalam menghadapi era globalisasi. Ancaman besar
yang juga tengah dihadapi oleh ekonomi rakyat adalah persaingan yang semakin
tajam, tidak saja atas produk barang dan jasa dari para pelaku ekonomi di dalam
negeri sendiri, tetapi juga masuknya produk-produk luar negeri yang sebenarnya
sudah dapat diproduksi oleh ekonomi rakyat di tanah air yang tergelar bebas di
pasar domestik, serta derasnya jaringan institusi bisnis internasional menerobos
masuk ke tengah tengah masyarakat, termasuk keberadaan pasar pasar modern yang
merupakan hyper market.
Sementara
itu hambatan besar yang dihadapi ekonomi rakyat untuk tetap dapat
bertahan, maju dan berkembang adalah tingkat kepedulian, keberpihakan, komitmen
dari para pemimpin bangsa, para pengemban kekuasaan, para pihak terkait, para
pemangku kepentingan yang tercermin tidak konsisten dan istiqomah.
Melihat
kondisi perkoperasian di tanah air dewasa ini, sebagaimana diungkap dan
disebutkan dengan jelas dalam dokumen RPJM Nasional tahun 2004-2009, bahwa “ …Banyak
koperasi yang terbentuk tanpa didasari adanya kebutuhan/kepentingan
ekonomi bersama dan prinsip kesukarelaan dari para anggota sehingga
kehilangan jati dirinya sebagai koperasi yang otonom dan swadaya dan
mandiri …………” Koperasi masih dijadikan oleh segelintir orang/kelompok,
baik di luar maupun di dalam gerakan koperasi itu sendiri, untuk
mewujudkan kepentingan pribadi atau golongannya, yang tidak sejalan atau
bahkan bertentangan dengan kepentingan anggota koperasi yang
bersangkutan dan nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip koperasi”, maka
l,angkah pemurnian hendaknya dapat dilakukan dengan segera oleh semua pihak
yang terkait dan para pemangku kepentingan, terutama kalangan gerakan koperasi
sendiri secara serentak dan simultan. Bahkan bila perlu langkah tersebut
dinyatakan sebagai gerakan nasional. Nampaknya semua jurus
reformasi tersebut di atas, baik yang berupa langkah restorasi,
rekonstruksi, konsolidasi, revitalisasi maupun regenuinisasi atau langkah
pemurnian, harus dilakukan secara menyeluruh kepada semua koperasi dengan tetap
memperhatikan dan melakukan penyesuaian dengan kondisi yang berkembang pada
masa kini dan mendatang.
Dalam
kaitan ini, maka urgensi melahirkan, menumbuh kembangkan dan
memerankan kembali kader-kader koperasi, menjadi sangat relevan dan urgen
untuk digarap kembali secara lebih sistemik dan komperehensif. Pengefektifan
mata pelajaran atau mata kuliah koperasi di lembaga-lembaga pendidikan,
keberadaan lembaga-lembaga semacam Sekolah Koperasi Menengah Atas (Skopma),
Akademi Koperasi (Akop), Institut Manajemen Koperasi (Ikopin), serta intensitas
dan ekstensitas diklat dan penyuluhan koperasi, kiranya akan dapat memberi
kontribusi yang cukup signifikan bagi upaya tersebut.
Menurut
Mutis (1999) untuk memberdayakan wirausaha dengan skala usaha kecil, menengah,
dan koperasi ataupun kalangan usaha di sektor informal adalah salah satu bentuk
menerjemahkan visi kerakyatan dalam fraxis bisnis kekinian.
Sejalan
dengan pemikiran Mutis di atas dapat dikemukakan bahwa sebelum mendirikan atau
mengembangkan agroindustri di suatu daerah, pemilihan jenis agroindustri
merupakan keputusan yang paling menentukan keberhasilan dan berkelanjutan
agroindustri yang akan dibangun atau dikembangkan. Menurut UU Nomor 25 tahun
1992 Tentang Perkoperasian, Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang seorang atau badan badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar pada atas asas kekeluargaan. Perlu dikemukakan bahwa lembaga koperasi
dalam konteks ini bukan semata mata amanat Pasal 33 UUD 1945 normatif,
melainkan yang Iebih hakiki adalah bahwa koperasi dalam berbagai hal mempunyai
keunggulan dibandingkan lembaga ekonomi lainnya, terutama pada agrobisnis
agroindustri dan pembangunan ekonomi pedesaan (position). Demikian juga
lembaga koperasi bukan satu satunya pilihan dalam mengembangkan agroindustri di
Indonesia, melainkan suatu kelebihan yang cukup penting dan sangat besar
artinya dalam mengembangkan kelembagaan koperasi, karena petani yang juga
anggota koperasi selain sebagai anggota juga sebagai pemilik (owners)
dan sekaligus sebagai pemakai (users).
Dari
berbagai uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dampak antara dari kedua
kondisi tersebut adalah iklim usaha koperasi yang tidak mudah untuk dapat
dieliminir oleh kalangan UMKM sendiri. Akibatnya usaha koperasi tidak pernah
mencapai titik marginal produktivity. Dengan perkataan produktifitas koperasi
selalu berada dibawah nilai harapan produktifitas yang sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. Tidak kondusifnya iklim usaha koperasi yang mempengaruhi
produktifitas koperasi dapat dilihat dari berbagai aspek kegiatan usaha UMKM
sebagai berikut :
1) Rendahnya
kualitas SDM
Disamping
kajian dari aspek pendapatan juga perlu diperhatikan kondisi SDM usaha mikro
dan usaha kecil dari aspek pengalaman, pengetahuan dan pendidikan mereka. Hasil
pengamatan Suhartoyo di Kabupaten Tasikmalaya (IPB 2004), seperti
memperlihatkan bahwa rata-rata pengalaman pengelola koperasi dibidang usaha
yang ditekuninya relatif cukup baik, tetapi dari aspek pendidikan dan
pengetahuan tentang inovasi dibidang produksi dan pengembangan teknologi serta,
dibidang manajemen usaha dan pemasaran relatif rendah.
2) Kesulitan
untuk mengembangkan permodalan
Rata-rata
pemilikan modal koperasi dari tahun ke tahun pada indeks harga tetap relatif
rendah yaitu 114.231.647. Demikian juga pertumbuhan modal mereka tidak banyak
berubah, kalaupun ada kecenderungan sedikit meningkat hal tersebut lebih
disebabkan oleh adanya inflasi. Kondisi yang demikian nampaknya sangat wajar
karena pendapatan yang diperoleh koperasi belum mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga mereka. Kecil sekali peluang bagi kelompok ini untuk
menabung yang dapat digunakan untuk menambah modal atau meningkatkan
investasinya.
3) Rendahnya
kualitas teknologi
Hasil
kajian Kementerian Negara Koperasi dan UKM tahun 2005 terhadap 27 koperasi
contoh di 4 propinsi contoh menginformasikan bahwa nilai bobot rata-rata
teknologi produksi yang digunakan oleh koperasi baru mencapai nilai 1,67 atau
tergolong dalam kelompok pengguna teknologi tradisional. Lebih lanjut dikatakan
pengembangan teknologi produksi dari produk-produk yang dihasilkan koperasi
belum dapat meningkatkan produkfitas dan memperbaiki kualitas produk.
4) Kelemahan
akses terhadap Pasar
Kesulitan
koperasi dalam membangun akses pasar lebih disebabkan oleh adanya beberapa
faktor yang belum dapat dieliminasi terutama yang berkaitan dengan informasi.
Tetapi kendala tersebut bukanlah harga mati, karena banyak variabel-variabel
pemasaran produk koperasi yang dapat diandalkan seperti rendahnya harga jual
produk koperasi yang menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan di pasar
internasional. Rendahnya eksistensi koperasi dalam penguasaan pasar memang
lebih terlihat sebagai dampak dari kondisi pasar yang tidak kondusif. Namun
sesungguhnya kondisi pasar yang demikian merupakan indikator dari adanya
masalah pokok yang tidak terlihat secara nyata, yaitu sistem pemasaran yang
dikuasai oleh komponen sistem yang lebih kuat, sehingga koperasi selalu hanya
berperan sebagai Price Taker (penerima harga). Dengan mengembangkan
kemampuan menangkap informasi, maka diharapkan dominansi komponen lainnya (para
pedagang besar dan eksportir) yang memiliki bargaining lebih kuat, yang selama
ini berperan sebagai price maker (pembuat harga) akan dapat dipatahkan.
Besarnya
minat pasar internasional terhadap produk-produk koperasi di Indonesia
menurut Wachidin (2001), terlihat di beberapa negara terutama di daerah
Afrika dan di negara-negara Arab. Sebagian konsumen yang mengkosumsi
produk-produk koperasi dari Indonesia ternyata tidak mengetahui bahwa
barang yang mereka beli adalah produk dari koperasi di Indonesia. Untuk mengatasi
masalah tersebut, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah mengenalkan
produk-produk koperasi tersebut dengan lebih mengembangkan jaringan
pasar dan atau mengintensifkan kegiatan promosi. Kedua kegiatan tersebut
belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh koperasi karena keterbatasan yang
ada dikalangan mereka antara lain, a) sebagian besar usaha mikro dan usaha kecil belum memiliki izin usaha,
b) rendahnya pengetahuan tentang informasi pasar dan terbatasnya dana
untuk melakukan kegiatan-kegiatan diluar kegiatan produksi. Hal ini
tentu saja menjadi dasar pemikiran tentang perlunya peranan pemerintah
untuk terlibat langsung dalam mengembangkan sistem pemasaran bagi
koperasi. Tetapi pemikiran tersebut juga terbentur pada berbagai masalah
struktural yang bermuara pada komitmen banyak pihak tentang perlunya memberdayakan
koperasi dalam rangka membangun perekonomian nasional yang bercorak
kerakyatan.
Organisasi
koperasi dibentuk atas dasar kepentingan dan kesepakatan anggota pendirinya
dan mempunyai tujuan utama untuk lebih mensejahterakan anggotanya.
Sistem kontribusi insentif sangat relevan dalam suatu organisasi koperasi.
Sistem tersebut dapat menjamin eksistensi koperasi dan sekaligus merangsang
anggota untuk lebih berpartisipasi secara aktif. Dalam pembicaraan mengenai
organisasi di masyarakat, khususnya di daerah perdesaan, kiranya lebih
dulu perlu dipahami bahwa basis terendah dalam kehidupan pedesaan adalah
“desa”, atau kampung, dusun dusun kecil yang penduduknya hidup berkelompok
dengan keterikatan/ketergantungan antar individu yang sangat erat. Komunitas
penduduk berlangsung dalam rangka membangun kehidupan yang pada awalnya
bersifat subsistem. Meskipun demikian (pola hidup subsistem), kaitan
pemasaran sudah ada dengan daerah urban yang lebih modern. Dalam hal
ini, yang dikenal sebagai pedesaan adalah kumpulan rumah tangga petani yang
secara tradisional mengambil keputusan keputusan produksi, konsumsi, dan
investasi. Di sektor perkotaan kegiatan yang sama dilakukan oleh lembaga perusahaan
dan rumah tangga secara terpisah dengan tujuan memaksimumkan penghasilan
perusahaan.
Hayami
(1981) menguraikan bahwa faktor kegiatan kolektif/kerja sarana kolektif
(colective action sangat penting untuk diorganisir terhadap pemanfaatan
aset masyarakat). Petani secara individu sebagai unit produksi terkecil
sulit untuk memperbesar keluarannya karena produksi agraris dihadapkan pada
kendala proses biologi yang dipengaruhi oleh unsur ekologis, perlu bekerjasama.
Penggunaan aset masyarakat (public goods) seperti pemanfaatan air
sungai, secara fisik dan kelembagaan dalam kaitan kerja sama kolektif memungkinkan
petani untuk membangun dan memelihara social overhead capital,
yang tidak saja mengurangi ketergantungan pada faktor alam, tetapi menghindarkan
mereka dari konflik konflik sosial.
Hal
lain yang patut dipertimbangkan mengenai kebutuhan kerja sama kolektif
ditunjukkan oleh permintaan terhadap tenaga kerja. Pada musim panen permintaan
tenaga kerja meningkat pesat dan di musim tertentu menurun drastis.Jadi,
variasi musim sangat menentukan dan kegotong royongan masyarakat menjadi
faktor penting guna mengatasi ketidakpastian tingkat produksi. Seringkali
semangat gotong royong masyarakat diperlukan dalam kaitan pengalihan
tenaga kerja, umpamanya penggantian tenaga kerja manusia dengan hewan
dan mesin mesin (seperti traktor) guna meningkatkan produktivitas, yang bila
tidak dilandasi jiwa kebersamaan tadi berbagai konflik kepentingan bisa muncul
menjadi persoalan baru.
Sebagai
contohnya dalam melakukan usaha, petani untuk menaikkan pendapatan
keluarga dan faktor konsumsi keluarganya (melalui peningkatan produksi
usaha taninya). Inilah, mereka banyak mengadakan kontak dengan dunia
luar, terutama dalam memenuhi kebutuhan sarana produksi. Penggunaan faktor
produksi sedikit banyak ditentukan oleh ketentuan adat istiadat melalui lembaga
tradisional seperti sistem Mapalus di Sulawesi dan melalui kelompok tani.
Dengan berorganisasi ini, koordinasi pemanfaatan sumberdaya yang langka bisa
dinikmati oleh petani petani individu. Dengan demikian apa yang tampak dalam
kehidupan ekonomi para petani adalah hubungan kekerabatan itu sangat erat
dan berpengaruh besar, sebab mereka hidup di lokasi yang sama sehingga mendorong
para petani bekerja sama untuk mempertahankan kehidupan.
Nama : Ani Puji Lestari
NPM/
Kelas : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan : Ekonomi/Akuntansi
Tahun : 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar