Review 15 :
Abstrak, Pendahuluan
Perlindungan Hukum Dana
Simpanan Anggota
Koperasi
Oleh :
Gunawan Hariyanto
Jurnal Ilmu Hukum,
MIZAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2012
ABSTRACT
The
weak legal system in Indonesia resulted in cooperative vulnerable to a wide variety
of irregularities in cooperative body. There is no clear legal sanction in the
Act cooperative and transparent to the manager (manager) who do abuse, but
returned. immediately to the criminal and civil law. The purpose of this study
was to determine the legal protection of co-operative members’ savings fund in
terms of existing laws in Indonesia and to determine the role of government in
protecting the funds of the cooperative members of embezzlement by cooperative
management practices.
Analysis
of the data in this study carried out by combining the juridical analysis of qualitative
and phenomenological analysis. This means that normative studies based on empirical
results of interviews and observations in the field. In this study researchers interviewed
officials at seven service cooperatives in five cities in East Java. Office of
the studied cooperatives, among others: Cooperatives and the District
Municipality Mojokerto, district and municipality of Kediri, Nganjuk District,
Trenggalek and Tulungagung District.
The
results of this study is the cooperative law for KSP/USP still has a large gap
to the practice of embezzlement members. Role was limited to cooperative
service builder and facilitator, because the cooperative has the principle of
autonomy in managing its internal affairs. Moreover there is no deposit
guarantee agency (LPS) on specific cooperative banking sector. It is very risky
in the case of cooperative members in case of embezzlement of funds by the
board members of cooperatives. The effort has been done by local governments
through cooperative service district/city to help protect members of the
cooperative fund is still less than optimal. Coaching function tends to be a
mere formality, less programmatic and real benefits. Quantity and quality of
service personnel are still not capable of cooperative expert witness trial.
Permit ease of service provided for the establishment of cooperative KSP/USP
actually trigger the guise of a cooperative lender practices prone to abuse.
Another obstacle in the government’s efforts is the presence of local autonomy
that lead to change of leadership of the cooperative department officials to
ignore individual capacity.
Keywords:
Legal Protection, Savings Fund, Member of the Cooperative
I.
Pendahuluan
Koperasi
sebagai salah satu bentuk badan usaha mempunyai peran yang sangat strategis bagi
pemberdayaan dan penguatan perekonomian rakyat. Koperasi sebagai sebuah lembaga
ekonomi rakyat telah lama dikenal di Indonesia dimana menurut Dr. Muhammad
Hatta yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, koperasi merupakan Badan
Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka
yang umumnya berekonomi lemah, yang bergabung secara sukarela, berdasarkan persamaan
hak dan kewajiban untuk melakukan suatu usaha yang bertujuan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan para anggotanya (Mirza Gamal, 2006).
Melalui
wadah koperasi, para anggota dapat melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama. Dengan semangat kebersamaan inilah koperasi hadir dan diperlukan
guna mendorong tumbuhnya usaha-usaha kecil di masyarakat. Untuk memenuhi
kebutuhan usaha dan lainnya, para anggota koperasi dapat menggunakan jasa
pinjaman koperasi, tanpa agunan dan tidak dikenakan bunga pengembalian yang
tinggi. Sehingga usaha usaha kecil yang ada diharapkan tetap tumbuh tanpa harus
terjerat dan terlilit hutang yang mencekik. Selain itu, semakin membaiknya
tingkat kesadaran masyarakat akan arti pentingnya koperasi, serta proses dan
prosedur yang mudah dalam pendirian sebuah koperasi, menjadi kontribusi tersendiri
banyak berdirinya koperasi di hampir setiap wilayah pedesaan.
Koperasi
sebagai suatu badan usaha yang berbadan hukum dapat melaksanakan kegiatan usaha
simpan pinjam sebagai salah satu usaha atau satu-satunya kegiatan usaha koperasi.
Koperasi Simpan Pinjam secara khusus dalam kegiatan usahanya menerima tabungan
(penghimpunan dana) dan menyalurkannya, yang berasal dari dan untuk para
anggotanya atau koperasi lain dan/atau anggotanya (Pasal 44 Undang-Undang Republik
Indonesia No.25 Th.1992 tentang Perkoperasian). Namun koperasi tidak dapat menjalankan
usahanya seperti bank yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya pada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk
lainnya (Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia No.7 Th. 1992 tentang
Perbankan).
Tantangan
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) atau Unit Simpan Pinjam (USP) secara umum adalah
untuk meneguhkan eksistensi dan perannya, baik terhadap persoalan pengelolaan,
manajemen, SDM, maupun dalam menghadapi persaingan pasar bebas. Tantangan ini
yang harus dapat dijawab oleh KSP/USP sebagai badan usaha yang berbasis anggota,
untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya. Banyaknya bank dan lembaga
keuangan non koperasi akan meningkatkan persaingan usaha, sehingga KSP/USP dituntut
untuk dapat meningkatkan pelayanan, khususnya dalam menciptakan rasa
kepercayaan anggota terhadap koperasi, termasuk memberikan jaminan perlindungan
hukum dana para anggota.
Dewasa
ini banyak bertumbuh kembang penawaran produk investasi berupa simpanan
berjangka pada KSP/USP dengan janji tingkat pengembalian yang cukup tinggi. Penawaran
produk investasi itu dilakukan secara terbuka kepada masyarakat luas, baik melalui
iklan surat kabar, brosur-brosur maupun menggunakan media internet. Tawaran semacam
ini sangatlah menggiurkan, karena orang akan lebih cenderung bersikap pragmatis
untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Dorongan kuat akan memperoleh keuntungan
tinggi mampu membuat orang tanpa perlu lagi mempertimbangkan secara masak
terhadap rasionalitas usaha maupun kemungkinan resikonya. Sehingga banyak warga
masyarakat yang kemudian tertarik dan menginvestasikan uangnya.
Fenomena
di atas tentunya harus dicermati secara kritis, karena tidak sedikit yang kemudian
bergulir menjadi kasus hukum, janji-janji semula seperti yang ditawarkan
koperasi kemudian tidak sesuai dengan kenyataan, bahkan ketika dana milik para
anggota tidak bisa diambil kembali. Pengurus atau pengelola koperasi menjadi tersangka
dengan sangkaan telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang Perbankan/Koperasi,
melakukan tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan. Sebagai contoh kasus
penipuan investasi berkedok koperasi di Pangkalpinang dan diBali yang berujung
pada penangkapan manajer koperasi (Liputan 6 SCTV, edisi 2 April 2009). Kasus
dugaan penipuan di Disperindagkop Ciamis dengan nilai uang sejumlah Rp.750 juta
(Harian Pikiran Rakyat, edisi 17 Mei 2011). Kasus penipuan bermodus deposito oleh
sebuah koperasi di Mojokerto yang menyebabkan korban menelan kerugian sebesar 4
miliar rupiah (Jawa Pos, edisi 26 Mei 2011). Kasus penggelapan uang anggota
koperasi di Bojonegoro setelah korban diberi iming-iming share 2 persen per bulan
(Wartapedia, edisi 27 Mei 2011). Ada pula kasus di Solo, Lampung dan Kasus Langit
Biru di Jawa Barat dan di Pare pada tahun 2011 yang sudah masuk gugatan pidana
di Pengadilan Negeri Kediri. Masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang kian memperburuk
citra koperasi sebagai wadah penyimpanan uang yang berisiko tinggi. Kasus-kasus
semacam ini pada akhirnya memupuskan kepercayaan masyarakat terhadap tingkat
perlindungan hukum dana simpanan anggota koperasi. Di pihak lain, perangkat
hukum perlindungan dana anggota bagi institusi koperasi masih belum memadai.
Saat ini pemerintah hanya mendirikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang
diperuntukkan untuk perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor.24 Th. 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Repubik
Indonesia Tahun 2004 Nomor.96 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor.4420).
Adanya peraturan ini membuat nasabah bank merasa lebih aman untuk menyimpan
dananya pada bank. Kendati demikian LPS juga tidak memberikan rasa aman bagi
nasabah besar/kaya, karena nilai uang nasabah yang dijamin hanya yang bernilai
maksimal 2 milyar rupiah. Belum lagi lemahnya sistem pengendalian internal dan
risiko pembobolan (Jawa Pos, edisi 30 Mei 2011). Bercermin dari lemahnya
perbankan di Indonesia dalam memberikan perlindungan bagi dana nasabah, maka
kondisi koperasi tampak jauh lebih parah. KSU/USP tidak memiliki perangkat
penjamin simpanan sebagaimana yang dimiliki oleh perbankan. Oleh karena itu hampir
tidak mungkin bagi KSU/USP untuk dapat mengembangkan diri dengan menghimpun
dana dalam bilangan besar dari para anggota.
Bila
koperasi juga memerlukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maka timbul pertanyaan
siapa yang harus mempersiapkan pendanaannya? Gerakan koperasi atau Pemerintah?
Kalau pemerintah yang harus menyiapkan maka ketergantungan koperasi pada
pemerintah nampak sangat kuat. Padahal koperasi didorong untuk mandiri, seperti
halnya lembaga keuangan lainnya. Namun setidaknya dalam rangka pembinaan, karena
koperasi masih belum dinilai mampu, maka LPS koperasi ini dapat dibentuk dan
diprakarsai oleh pemerintah. Agar tidak terlalu membebani pemerintah, maka
diperlukan peran serta Gerakan Koperasi melalui IKSP (Ikatan-Koperasi- Simpan-Pinjam)
dalam pengelolaan LPS (Sudibyo, 2010).
Lemahnya
sistem hukum perkoperasian di Indonesia mengakibatkan rawan munculnya berbagai
penyimpangan dalam tubuh perkoperasian. Tidak ada suatu sanksi hukum yang jelas
dan transparan dalam UU koperasi bagi pengelola (manager)/pengurus yang melakukan
penyalahgunaan, selain dikembalikan langsung pada hukum pidana dan perdata.
Dalam tingkat risiko anggota yang tinggi ini, koperasi juga tidak memiliki lembaga
penjamin simpanan. Pada akhirnya bila terjadi penyalahgunaan dana anggota, maka
anggota koperasi adalah pihak yang paling dirugikan karena posisinya yang
lemah. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini adalah mengulas Perlindungan
Hukum Dana Simpanan Anggota Koperasi.
Nama :
Ani Puji Lestari
NPM/ Kelas : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan : Ekonomi/Akuntansi
Tahun : 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar