Review 19 :
Pembahasan
Pembahasan
Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia Pengelola
Koperas Terhadap Perkembangan Koperasi Unit Desa di Kabupaten Nias
Oleh :
Atozisochi Daeli, Amru Nasution, Matias Siagian
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1,
Nomor 2
1.
Pembahasan
Menurut
Anoraga dan H. Djoko Sudantoko (2002:1), Koperasi berasal dari kata “co” yang
berarti bersama, dan “operation” yang mengandung makna bekerja. Jadi, secara
leksikologis koperasi bermakna sebagai suatu perkumpulan kerjasama yang
beranggotakan orang-orang maupun badan-badan, dimana ia memberikan kebebasan
untuk keluar dan masuk sebagai anggotanya.
Pengertian
Koperasi menurut Undang-Undang Koperasi No. 25 tahun 1992 adalah Badan Usaha
yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan pronsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasar atas asa kekeluargaan. Dalam undang-undang ini diatur
prinsip-prinsip koperasi, yaitu:
1) Keanggotaan
bersifat sukarela dan terbuka
2) Pengeolaan
dilakukan secara demokratis
3) Pembangian
sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha
masing-masing anggota
4) Pemberian
balas jasa yang terbatas terhadap modal
5) Kemandirian
6) Pendidikan
perkoperasian
7) Kerjasama
antarkoperasi
Di Indonesia ada
dua bentuk koperasi, yaitu Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi
primer adalah koperasi yang anggotanya adalah orang-orang yang memiliki
kesamaan kepentingan ekonomi dan ia melaksanakan kegiatan usahanya dengan
langsung melayani para anggotanya. Contoh koperasi primer ini adalah Koperasi
Unit Desa. Sedangkan koperasi sekunder adalah semua koperasi yang didirikan dan
beranggotakan koperasi primer dan atau koperasi sekunder. Dalam hal koperasi
mendirikan koperasi sekunder dalam berbagai tingkatan seperti yang selama ini
dikenal sebagai pusat, gabungan, dan induk, maka jumlah tingkatan maupun
penamaannya diatur sendiri oleh koperasi yang bersangkutan. Koperasi sekunder
ini misalnya adalah pusat atau induk KUD (PUSKUD/INKUD).
Untuk konteks
Indonesia, pembagian koperasi didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat.
Secara umum ada lima klasifikasi koperasi, yakni :
1) Koperasi
Konsumsi
2) Koperasi
Simpan Pinjam atau Koperasi Kredit
3) Koperasi
Produksi
4) Koperasi
Jasa
5) Koperasi
Serba Usaha
Perdebatan
tentang kemampuan koperasi sebagai salah satu institusi yang mampu mendongrak
keterpurukan perekonomian rakyat, masih tetap berlangsung hingga saat ini.
Perdebatan itu melibatkan banyak pihak, baik dari pemerhati maupun praktisi
koperasi di Indonesia.
Terlepas dari perdebatan
yang terjadi, keberadaan dan kewajiban untuk pembangunan koperasi di Indonesia
sudah merupakan amanat konstitusi dalam pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak ada
satu alasan yang cukup kuat untuk mengabaikan keberadaan dan perkembangan
koperasi. Disamping itu, perkembangan koperasi di Indonesia secara kuantitas
sebenarnya cukup menggembirakan, seperti terlihat pada data Rencana Strategis
Pembangunan Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menegah (2000), bahwa pada periode
1997-1999 jumlah koperasi yang berbadan hukum dan aktif, dan jumlah anggota
koperasi yang aktif meningkat, begitu juga dengan aset koperasi juga mengalami
peningkatan.
Beberapa tahun
belakangan ini, terutama pada masa era reformasi dan diberlakukannya otonomi
daerah, perhatian terhadap gerakan pembangunan koperasi semakin tinggi. Salah
satu contoh adalah konsep ekonomi kerakyatan dijadikan sebagai argumentasi
utama dalam Program Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Kecil Menegah pada tahun
anggaran 2001 (Inventarisasi Mekanisme Pengelolaan Koperasi dan UKM Berdasarkan
Potensi dan Peluang Usaha di Kabupaten Nias Tahun 2001).
Hingga 31
Desember 2003, tercatat jumlah seluruh koperasi yang ada di Kabupaten Nias
sebanyak 318 unit yang terdiri dari 24 unit KUD dan 294 unit non KUD. Data ini
semakin memberikan justifikasi bahwa perhatian terhadap perkembangan KUD dari
Pemerintah Daerah Nias masih sangat rendah. Padahal eksitensi KUD yang
seyogianya merupakan institusi yang harus lebih dikembangkan, mengingat
desa-desa di Kabupaten Nias sebagian besar masih tertinggal, bahkan sebagian
besar desa-desa itu belum dapat dilalui kendaraan.
Lebih jauh dapat
ditelusuri bahwa keberadaan atau perkembangan koperasi, terutama yang non KUD
juga tidak merata di seluruh kecamatan, bahkan terdapat kecenderungan
perkembangan koperasi terpusat pada ibukota kabupaten.
Demikian pula
pendirian koperasi serba usaha, koperasi karyawan, koperasi pasar, koperasi
simpan pinjam, koperasi angkutan dan sebagainya yang hanya melibatkan beberapa
orang dan jumlah anggota yang jauh lebih sedikit, sehingga secara teknis lebih
mudah dalam pengelolannya.
Ciri yang
menonjol dari koperasi unit desa di Kabupaten Nias adalah eksistensi atau
kemunculan merupakan akibat dari adanya program-program tertentu dari
pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten. Berbeda dengan koperasi non
KUS yang lebih banyak dibentuk oleh segelintir orang atau oleh instansi
tertentu, namun gerakannya selalu lebih berorientasi pada upaya pemaksimalan
keuntungan pada anggota, paling tidak upaya untuk menangkap adanya peluang-peluang
yang sebenarnya tidak di tujukan khusus kepada mereka.
Perkembangan
jumlah koperasi yang baru terbentuk sebenarnya bukanlah sebagai akibat
meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berkoperasi, tetapi lebih banyak
ditentukan dari arah kebijakan pembangunan secara nasional, yakni pada era 1980
hingga 1999 terdapat banyak program-program pengentasan kemiskinan, program
penampungan produksi pertanian yang lebih dikenal dengan program kemitraan,
Bapak angkat, dan sebagainya.
Disamping itu,
ditemukan adanya informasi yang menggambarkan bahwa aliran kebijakan yang
digariskan secara nasional mengenai upaya-upaya pembangunan, baik yang
berhubungan langsung mengenai koperasi maupun yang tidak berhubungan secara
langsung, tetapi melibatkan peran koperasi sebagai instrumen utama, lebih
cenderung tertangkap oleh para elite-elite masyarakat, terutama masyarakat yang
tinggal disekitar ibu kota kecamatan.
Upaya yang
dilakukan pemerintah tampaknya hingga kini belum mampu mendudukkan koperasi
sebagaimana mestinya. Artinya ada persoalan yang belum diketahui secara jelas
mengapa keberpihakan pemerintah terhadap keberadaan koperasi tidak diikuti
dengan pencapaian atau perkembangan koperasi di Indonesia belum sebanding
dengan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah,
Gagalnya gerakan
koperasi di Indonesia untuk berkomptensi dengan arus liberalisasi ekonomi,
dimungkinkan terjadi akibat terhambatnya proses gerakan koperasi pada tahap
permulaan kemerdekaan yang masih sebatas fungsi advokasi dan sosialisasi
prinsip-prinsip dan konsep-konsep koperasi, pada tahap demokrasi terpimpin.
Begitu pula saat tahap orde baru, gerakan koperasi berpacu dengan
gerakan-gerakan pembangunan di segala sektor yang didominasi oleh
pengaruh-pengaruh ekonomi liberal, shingga gerakan koperasi pada tahap inipun
tidak mampu berkomptensi dan selalu jauh, walaupun upaya-upaya yang dilakukan
pemerintah melalui kebijakan-kebijakan rehabilitas, konsolidasi dan
pengembangan koperasi tetap berlanjut. Pada tahap inilah banyak pihak
menyatakan pemerintah belum memberikan tekanan lebih yang memihak pada
kepentingan koperasi.
Faktor penting
lainnya yang diperkirakan turut menentukan keberhasilan dalam mengelola
koperasi adalah pendidikan formal, mengingat dalam praktek pengelolaan KUD,
ternyata banyak peluang-peluang terutama yang berasal dari kebijakan-kebijakan
pemerintah yang memerlukan persyaratan teknis yang agak rumit untuk
mendapatkannya. Misalnya, adanya penyusunan konsep dan program Koperasi Unit
Desa yang mudah untuk diukur dan usulan-usulan lainnya yang memerlukan
kemampuan dan pemahaman yang agak rumit, sehingga mau tidak mau, para pengurus
seyogianya harus memiliki basis pendidikan formal yang memadai, paling tidak
mereka pernah menduduki pendidikan lanjutan atas. Dari penelitian diperoleh
ternyata proporsi pendidikan formal yang diperlihatkan oleh para responden
pengurus koperasi relatif telah memadai, yaitu sebagian besar sudah
berpendidikan formal STA, bahkan ada yang telah menamatkan pendidikan di
perguruan tinggi.
Setelah melihat
dari pendidikan dan perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui jalur
pendidikan non formal dan informal, maka dapat diketahui kualitas sumber daya
manusia responden yang dibagi dalam tiga kategori yaitu, rendah, sedang, dan
tinggi. Pembagian kategori kualitas sumber daya manusia tersebut menunjukkan
bahwa mayoritas responden tergolong pada kualitas sumber daya manusia yang
rendah yaitu sekitar 60 persen, sedangkan kategori sedang dan tinggi
masing-masing sebesar 20 persen.
Karakteristik
penting untuk melihat perkembangan koperasi unit desa adalah dari jumlah
anggota, volume usaha dan sisa hasil usaha. Artinya, semakin besar jumlah
anggota, volume usaha dan sisa hasil usaha, maka koperasi tersebut dapat
dikatakan semakin berkembang. Dari 7 koperasi unit desa yang dijadikan sampel,
ternyata hanya satu KUD yang memiliki jumlah anggota di atas 500 orang, yakni
KUD Temani. Tiga KUD yakni, KUD Serasih, Swadaya dan Masa Karya memiliki jumlah
anggota antara 100 hingga 150 orang. Jumlah anggota yang dibawah hingga 100
orang terdapat pada KUD Sinar Pagi, Sarunehe dana Harapan.
Dalam tiga tahun
terakhir, yakni 2001 sampai 2003, sebagian besar KUD tersebut mengalami
perkembangan yang relatif lamban. Selain itu, terdapat perubahan jumlah anggota
yang hanya terjadi pada satu KUD, yakni KUD Temani yang mengalami pengurangan
jumlah anggota. Sedangkan enam KUD lainnya tidak mengalami perubahan jumlah
anggota. Dalam kurun waktu tersebut, hanya KUD Temani yang mengalami
perkembangan yang dilihat dari volume usahanya dan sisa hasil usahanya, sedangkan
KUD lainnya tampaknya tidak mengalami perkembangan yang berarti. Perbedaan
perkembangan KUD Temani dibandingkan dengan KUD lainnya, kemungkinan
berhubungan dengan faktor-faktor yang dalam penelitian ini diduga berasal dari
faktor sumber daya manusia pengelolanya. Namun demikian, tidak tertutup
kemungkinan adanya faktor-faktor lainnya.
Oleh karena itu,
orientasi aktivitas KUD lebih banyak diarahkan pada perpanjangan tangan
pemerintah yang menuntut kemampuan dan kehandalan dalam melakukan negosiasi dan
pendekatan-pendekatan secara interpersonal maupun formal seperti penyusunan
proposal, penyediaan data-data dan dokumen yang dapat memenuhi kriteria pihak
pemerintah dalam rangka melakukan evaluasi dan monitoring, seperti yang
diutarakan oleh salah satu seorang key informan berikut :
Kasus KUD Temani
di atas, kemungkinan dapat menjelaskan mengapa variabel dukungan pemerintah
merupakan salah satu faktor dari variabel perkembangan KUD. Penjelasan yang
sama juga berlaku untuk menjelaskan dukungan instansi swasta terhadap
perkembangan KUD, karena ternyata dalam realisasi program-program pemerintah,
baik yang bersifat bantuan modal usaha, bantuan pembinaan manajemen dan
sebagainya, semuanya melibatkan peran instansi swasta. Jleas pola usaha seperti
ini menuntut adanya kualitas sumber daya manusia yang memadai, sebab jika
tidak, maka dapat dipastikan koperasi unit desa tidak akan mampu menjalin
hubungan kerjasama atau kemitraan dengan institusi-institusi lain, baik
pemerintah maupun swasta.
Nama
: Ani Puji Lestari
NPM/
Kelas : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan
: Ekonomi/Akuntansi
Tahun
: 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar