My Blog


Jumat, 28 Desember 2012

Review Jurnal Ekonomi Koperasi (19)

Review 19 : 
Pembahasan

Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia Pengelola Koperas Terhadap Perkembangan Koperasi Unit Desa di Kabupaten Nias

Oleh :
Atozisochi Daeli, Amru Nasution, Matias Siagian
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2

1.      Pembahasan
Menurut Anoraga dan H. Djoko Sudantoko (2002:1), Koperasi berasal dari kata “co” yang berarti bersama, dan “operation” yang mengandung makna bekerja. Jadi, secara leksikologis koperasi bermakna sebagai suatu perkumpulan kerjasama yang beranggotakan orang-orang maupun badan-badan, dimana ia memberikan kebebasan untuk keluar dan masuk sebagai anggotanya.
Pengertian Koperasi menurut Undang-Undang Koperasi No. 25 tahun 1992 adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan pronsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asa kekeluargaan. Dalam undang-undang ini diatur prinsip-prinsip koperasi, yaitu:
1)      Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2)      Pengeolaan dilakukan secara demokratis
3)      Pembangian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota
4)      Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
5)      Kemandirian
6)      Pendidikan perkoperasian
7)      Kerjasama antarkoperasi
Di Indonesia ada dua bentuk koperasi, yaitu Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi primer adalah koperasi yang anggotanya adalah orang-orang yang memiliki kesamaan kepentingan ekonomi dan ia melaksanakan kegiatan usahanya dengan langsung melayani para anggotanya. Contoh koperasi primer ini adalah Koperasi Unit Desa. Sedangkan koperasi sekunder adalah semua koperasi yang didirikan dan beranggotakan koperasi primer dan atau koperasi sekunder. Dalam hal koperasi mendirikan koperasi sekunder dalam berbagai tingkatan seperti yang selama ini dikenal sebagai pusat, gabungan, dan induk, maka jumlah tingkatan maupun penamaannya diatur sendiri oleh koperasi yang bersangkutan. Koperasi sekunder ini misalnya adalah pusat atau induk KUD (PUSKUD/INKUD).
Untuk konteks Indonesia, pembagian koperasi didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat. Secara umum ada lima klasifikasi koperasi, yakni :
1)      Koperasi Konsumsi
2)      Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Kredit
3)      Koperasi Produksi
4)      Koperasi Jasa
5)      Koperasi Serba Usaha
Perdebatan tentang kemampuan koperasi sebagai salah satu institusi yang mampu mendongrak keterpurukan perekonomian rakyat, masih tetap berlangsung hingga saat ini. Perdebatan itu melibatkan banyak pihak, baik dari pemerhati maupun praktisi koperasi di Indonesia.
Terlepas dari perdebatan yang terjadi, keberadaan dan kewajiban untuk pembangunan koperasi di Indonesia sudah merupakan amanat konstitusi dalam pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak ada satu alasan yang cukup kuat untuk mengabaikan keberadaan dan perkembangan koperasi. Disamping itu, perkembangan koperasi di Indonesia secara kuantitas sebenarnya cukup menggembirakan, seperti terlihat pada data Rencana Strategis Pembangunan Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menegah (2000), bahwa pada periode 1997-1999 jumlah koperasi yang berbadan hukum dan aktif, dan jumlah anggota koperasi yang aktif meningkat, begitu juga dengan aset koperasi juga mengalami peningkatan.
Beberapa tahun belakangan ini, terutama pada masa era reformasi dan diberlakukannya otonomi daerah, perhatian terhadap gerakan pembangunan koperasi semakin tinggi. Salah satu contoh adalah konsep ekonomi kerakyatan dijadikan sebagai argumentasi utama dalam Program Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Kecil Menegah pada tahun anggaran 2001 (Inventarisasi Mekanisme Pengelolaan Koperasi dan UKM Berdasarkan Potensi dan Peluang Usaha di Kabupaten Nias Tahun 2001).
Hingga 31 Desember 2003, tercatat jumlah seluruh koperasi yang ada di Kabupaten Nias sebanyak 318 unit yang terdiri dari 24 unit KUD dan 294 unit non KUD. Data ini semakin memberikan justifikasi bahwa perhatian terhadap perkembangan KUD dari Pemerintah Daerah Nias masih sangat rendah. Padahal eksitensi KUD yang seyogianya merupakan institusi yang harus lebih dikembangkan, mengingat desa-desa di Kabupaten Nias sebagian besar masih tertinggal, bahkan sebagian besar desa-desa itu belum dapat dilalui kendaraan.
Lebih jauh dapat ditelusuri bahwa keberadaan atau perkembangan koperasi, terutama yang non KUD juga tidak merata di seluruh kecamatan, bahkan terdapat kecenderungan perkembangan koperasi terpusat pada ibukota kabupaten.
Demikian pula pendirian koperasi serba usaha, koperasi karyawan, koperasi pasar, koperasi simpan pinjam, koperasi angkutan dan sebagainya yang hanya melibatkan beberapa orang dan jumlah anggota yang jauh lebih sedikit, sehingga secara teknis lebih mudah dalam pengelolannya.
Ciri yang menonjol dari koperasi unit desa di Kabupaten Nias adalah eksistensi atau kemunculan merupakan akibat dari adanya program-program tertentu dari pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten. Berbeda dengan koperasi non KUS yang lebih banyak dibentuk oleh segelintir orang atau oleh instansi tertentu, namun gerakannya selalu lebih berorientasi pada upaya pemaksimalan keuntungan pada anggota, paling tidak upaya untuk menangkap adanya peluang-peluang yang sebenarnya tidak di tujukan khusus kepada mereka.
Perkembangan jumlah koperasi yang baru terbentuk sebenarnya bukanlah sebagai akibat meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berkoperasi, tetapi lebih banyak ditentukan dari arah kebijakan pembangunan secara nasional, yakni pada era 1980 hingga 1999 terdapat banyak program-program pengentasan kemiskinan, program penampungan produksi pertanian yang lebih dikenal dengan program kemitraan, Bapak angkat, dan sebagainya.
Disamping itu, ditemukan adanya informasi yang menggambarkan bahwa aliran kebijakan yang digariskan secara nasional mengenai upaya-upaya pembangunan, baik yang berhubungan langsung mengenai koperasi maupun yang tidak berhubungan secara langsung, tetapi melibatkan peran koperasi sebagai instrumen utama, lebih cenderung tertangkap oleh para elite-elite masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal disekitar ibu kota kecamatan.
Upaya yang dilakukan pemerintah tampaknya hingga kini belum mampu mendudukkan koperasi sebagaimana mestinya. Artinya ada persoalan yang belum diketahui secara jelas mengapa keberpihakan pemerintah terhadap keberadaan koperasi tidak diikuti dengan pencapaian atau perkembangan koperasi di Indonesia belum sebanding dengan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah,
Gagalnya gerakan koperasi di Indonesia untuk berkomptensi dengan arus liberalisasi ekonomi, dimungkinkan terjadi akibat terhambatnya proses gerakan koperasi pada tahap permulaan kemerdekaan yang masih sebatas fungsi advokasi dan sosialisasi prinsip-prinsip dan konsep-konsep koperasi, pada tahap demokrasi terpimpin. Begitu pula saat tahap orde baru, gerakan koperasi berpacu dengan gerakan-gerakan pembangunan di segala sektor yang didominasi oleh pengaruh-pengaruh ekonomi liberal, shingga gerakan koperasi pada tahap inipun tidak mampu berkomptensi dan selalu jauh, walaupun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan rehabilitas, konsolidasi dan pengembangan koperasi tetap berlanjut. Pada tahap inilah banyak pihak menyatakan pemerintah belum memberikan tekanan lebih yang memihak pada kepentingan koperasi.
Faktor penting lainnya yang diperkirakan turut menentukan keberhasilan dalam mengelola koperasi adalah pendidikan formal, mengingat dalam praktek pengelolaan KUD, ternyata banyak peluang-peluang terutama yang berasal dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang memerlukan persyaratan teknis yang agak rumit untuk mendapatkannya. Misalnya, adanya penyusunan konsep dan program Koperasi Unit Desa yang mudah untuk diukur dan usulan-usulan lainnya yang memerlukan kemampuan dan pemahaman yang agak rumit, sehingga mau tidak mau, para pengurus seyogianya harus memiliki basis pendidikan formal yang memadai, paling tidak mereka pernah menduduki pendidikan lanjutan atas. Dari penelitian diperoleh ternyata proporsi pendidikan formal yang diperlihatkan oleh para responden pengurus koperasi relatif telah memadai, yaitu sebagian besar sudah berpendidikan formal STA, bahkan ada yang telah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi.
Setelah melihat dari pendidikan dan perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui jalur pendidikan non formal dan informal, maka dapat diketahui kualitas sumber daya manusia responden yang dibagi dalam tiga kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Pembagian kategori kualitas sumber daya manusia tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden tergolong pada kualitas sumber daya manusia yang rendah yaitu sekitar 60 persen, sedangkan kategori sedang dan tinggi masing-masing sebesar 20 persen.
Karakteristik penting untuk melihat perkembangan koperasi unit desa adalah dari jumlah anggota, volume usaha dan sisa hasil usaha. Artinya, semakin besar jumlah anggota, volume usaha dan sisa hasil usaha, maka koperasi tersebut dapat dikatakan semakin berkembang. Dari 7 koperasi unit desa yang dijadikan sampel, ternyata hanya satu KUD yang memiliki jumlah anggota di atas 500 orang, yakni KUD Temani. Tiga KUD yakni, KUD Serasih, Swadaya dan Masa Karya memiliki jumlah anggota antara 100 hingga 150 orang. Jumlah anggota yang dibawah hingga 100 orang terdapat pada KUD Sinar Pagi, Sarunehe dana Harapan.
Dalam tiga tahun terakhir, yakni 2001 sampai 2003, sebagian besar KUD tersebut mengalami perkembangan yang relatif lamban. Selain itu, terdapat perubahan jumlah anggota yang hanya terjadi pada satu KUD, yakni KUD Temani yang mengalami pengurangan jumlah anggota. Sedangkan enam KUD lainnya tidak mengalami perubahan jumlah anggota. Dalam kurun waktu tersebut, hanya KUD Temani yang mengalami perkembangan yang dilihat dari volume usahanya dan sisa hasil usahanya, sedangkan KUD lainnya tampaknya tidak mengalami perkembangan yang berarti. Perbedaan perkembangan KUD Temani dibandingkan dengan KUD lainnya, kemungkinan berhubungan dengan faktor-faktor yang dalam penelitian ini diduga berasal dari faktor sumber daya manusia pengelolanya. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya faktor-faktor lainnya.
Oleh karena itu, orientasi aktivitas KUD lebih banyak diarahkan pada perpanjangan tangan pemerintah yang menuntut kemampuan dan kehandalan dalam melakukan negosiasi dan pendekatan-pendekatan secara interpersonal maupun formal seperti penyusunan proposal, penyediaan data-data dan dokumen yang dapat memenuhi kriteria pihak pemerintah dalam rangka melakukan evaluasi dan monitoring, seperti yang diutarakan oleh salah satu seorang key informan berikut :
Kasus KUD Temani di atas, kemungkinan dapat menjelaskan mengapa variabel dukungan pemerintah merupakan salah satu faktor dari variabel perkembangan KUD. Penjelasan yang sama juga berlaku untuk menjelaskan dukungan instansi swasta terhadap perkembangan KUD, karena ternyata dalam realisasi program-program pemerintah, baik yang bersifat bantuan modal usaha, bantuan pembinaan manajemen dan sebagainya, semuanya melibatkan peran instansi swasta. Jleas pola usaha seperti ini menuntut adanya kualitas sumber daya manusia yang memadai, sebab jika tidak, maka dapat dipastikan koperasi unit desa tidak akan mampu menjalin hubungan kerjasama atau kemitraan dengan institusi-institusi lain, baik pemerintah maupun swasta.

Nama               : Ani Puji Lestari        
NPM/ Kelas    : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan    : Ekonomi/Akuntansi
Tahun              : 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar