Review 16 :
Pembahasan
Perlindungan Hukum Dana
Simpanan Anggota Koperasi
Oleh :
Gunawan Hariyanto
Jurnal Ilmu Hukum,
MIZAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2012
- Perlindungan Hukum Dana Simpanan
Anggota Koperasi di Indonesia Ditinjau dari Aspek Yuridis
Berdasarkan hasil wawancara dengan 7
dinas koperasi di 5 kota di Jawa Timur, peneliti mendapatkan temuan yang
beragam terkait aspek yuridis perlindungan dana anggota koperasi di Indonesia.
Namun secara umum mereka menilai bahwa perangkat hukum di Indonesia memang belum
memadai untuk memberikan perlindungan atas simpanan anggota. Isu perangkat
hukum koperasi yang saat ini paling dibutuhkan dan belum ada adalah lembaga
penjamin simpanan (LPS) sebagaimana yang ada pada sektor perbankan. Sejauh ini
lembaga yang bisa digunakan untuk mencegah kasus penyalahgunaan dana anggota
adalah KPKS (Komisi Pengendalian Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam),
namun perannya belum cukup terasa karena masih baru dibentuk dan hanya
berdasarkan SK Walikota/Bupati yang tentunya memiliki kewenangan hukum yang
serba terbatas.
Fenomena KSP/USP menjadi bermasalah
ketika dalam melakukan kegiatan usahanya telah menyimpang dari prinsipprinsip
koperasi. Semakin ketatnya persaingan sesama koperasi, mendorong KSP/ USP untuk
berinovasi dan berlomba menarik calon anggota dengan memberikan berbagai
tawaran produk investasi simpanan, serta pemberian bonus-bonus dan
hadiah-hadiah menarik lainnya. Strateginya adalah memanfaatkan istilah status
“calon anggota koperasi” padahal sasarannya sebenarnya lebih cenderung kepada
masyarakat luas. Ketentuan perundangan yang dijadikan tempat berpijak adalah
Pasal 18 PP no. 9 tahun 1995 yang menyebutkan bahwa: “(2) Calon anggota
koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menjadi anggota dalam waktu
paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok.”
Pola pencarian calon nasabah seperti
telah tersebut di atas, sebagai alasan pembenarnya lebih pada pertimbangan
promosi sisi bisnis, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh koperasi
sesungguhnya sudah beregeser dan semakin jauh dari prinsip dan tujuan koperasi
itu sendiri. Tujuan koperasi yang terutama seharusnya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan para anggotanya.
Penyimpangan yang lain yaitu KSP/USP
membuka beberapa kantor cabang di kotakota lain di luar domisili hukumnya,
meskipun tanpa atau belum adanya ijin operasional dari instansi vertikal yang
berwenang maupun instansi setempat yang berwenang mengeluarkan perijinan dan
melakukan pengawasan. Dalam praktiknya seringkali KSP (Koperasi Simpan
Pinjam)/Unit Simpan Pinjam (USP) menghimpun dana dari masyarakat yang
jelas-jelas notabene bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka
dengan memberikan bunga kepada anggotanya di atas bunga bank.
Permasalahan akan semakin meruncing pada waktu simpanan para anggota jatuh
tempo, tetapi koperasi tidak mampu mengembalikan sesuai waktu dan bunga yang
dijanjikan. Hal ini disebabkan tawaran bunga tinggi oleh koperasi ternyata
tidak seimbang dengan kontribusi usaha riil yang digunakan untuk memutar dana
tersebut, apalagi kalau usaha tersebut berisiko mengalami kerugian atau
kebangkrutan.
Faktor penyebab lain adalah tindakan
penyelewengan oleh oknum pengelola/ pengurus koperasi akibat lemahnya
pengawasan/ kontrol. Kemudahan dalam perijinan pendirian koperasi telah
mendorong semakin banyaknya berdiri koperasi-koperasi, di satu sisi keadaan ini
akan membantu perbaikan sektor usaha kecil, namun di sisi lain, semakin
banyaknya berdiri koperasi tanpa proses perijinan yang selektif dan pengawasan
yang ketat juga akan menimbulkan masalah, karena berpotensi penyimpangan.
Berdasarkan keterangan dari dinas-dinas
koperasi yang diwawancarai, umumnya kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota
oleh pengurus koperasi tidak terselesaikan di persidangan. Atau
kalaupun berhasil disidangkan, keputusan yang dihasilkan tidak memenuhi rasa
keadilan. Proses persidangan hanya mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tidak menjamin adanya sanksi
denda yang jelas serta sanksi administratif (undang undang perbankan) lainnya
sebagaimana yang dimiliki Bank Indonesia untuk sektor perbankan. Akibatnya
banyak anggota yang harus puas menerima pengembalian dana hanya sekian persen
dari nilai yang dulu diinvestasikan, bahkan banyak tak bisa kembali sepeserpun.
Di sinilah aspek yuridis perlindungan
dana anggota koperasi memiliki celah yang perlu untuk disempurnakan. Sebenarnya
kasus-kasus likuiditas semacam ini juga seringkali terjadi pada sektor
perbankan, namun perbankan masih memberi rasa aman kepada para nasabahnya
dengan adanya Lembaga Penjamnin Simpanan (LPS). Di koperasi belum ada lembaga
seperti itu, sehingga sangat berisiko bagi seorang anggota koperasi untuk
mengalokasikan dana besar dalam bentuk simpanan di koperasi. Isu tentang LPS
untuk koperasi sebenarnya sudah lama diperdebatkan, sebab banyak implikasi yang
harus dipikirkan bila lembaga ini dibentuk untuk koperasi.
Bagaimananapun industri perbankan
berbeda dengan koperasi. Tak dapat dipungkiri pula bahwa perbankan di Indonesia
lebih mendominasi dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi daripada koperasi.
Dengan alasan itu pula maka sektor perbankan lebih mendapat perhatian khusus
dalam aspek yuridisnya, khususnya melalui peran Bank Indonesia.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan
perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16
bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem
perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan
beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban
pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Melalui
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang
Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dan disempurnakan
dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan
pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan
dana masyarakat. Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia
mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS dibentuk sebagai suatu
lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut
aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) :
1) Menjamin
simpanan nasabah penyimpan.
2) Turut
aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannnya.
Tugas
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS):
1) Merumuskan
dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.
2) Melaksanakan
penjaminan simpanan.
3) Merumuskan
dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem
perbankan.
4) Merumuskan,
menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak
berdampak sistemik.
5) Melaksanakan
penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Wewenang
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
1) Menetapkan
dan memungut premi penjaminan.
2) Menetapkan
dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
3) Melakukan
pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
4) Mendapatkan
data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan
hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
5) Melakukan
rekonsiliasi, verifikasi, dan/ atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4.
6) Menetapkan
syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
7) Menunjuk,
menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan
dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
8) Melakukan
penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
9) Menjatuhkan
sanksi administratif. (Situs Resmi LPS, online)
Dasar
hukum LPS antara lain:
1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang.
3) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga
Penjamin Simpanan
4) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
5) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal Awal Lembaga
Penjamin Simpanan.
Paparan tentang LPS di atas menunjukkan
bahwa secara yuridis pemerintah menjamin dana nasabah perbankan nasional.
Koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi diharapkan juga memiliki perlakuan
yang sama. Peraturan perundang-undangan tentang Koperasi Simpan Pinjam, yaitu:
1) UU
No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, PP No. 9 Tahun 1995 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi,
2) Kepmenkop
No.351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam
Oleh Koperasi,
Pada peraturan perundangan tersebut
belum terdapat adanya pengaturan secara khusus mengenai perlindungan maupun
jaminan penyelesaian bila terjadi penyimpangan terhadap dana anggota koperasi
yang berakibat kerugian bagi anggota tersebut. Mengingat KSP tergolong bisnis
pengelolaan uang yang penuh dengan risiko, maka untuk perkembangannya
diperlukan aturan/kebijakan dari Pemerintah yang dapat memberikan perlindungan
bagi dana anggota. Dalam beberapa kasus penyimpangan yang dilakukan oleh oknum
pengurus KSP, akhirnya para anggotalah yang tetap dirugikan, apalagi dana
miliknya tidak dapat kembali seutuhnya. Sedangkan asset koperasi sangat minim,
bahkan jauh bila dibanding dengan akumulasi simpanan para nasabah. Menurut
Sularso (Sularso, 2002: 104), KSP/USP memiliki indikasi kerawanan yang harus
diwaspadai, yaitu:
1) USP
sebagai salah satu unit dalam koperasi,
2) KSP/USP
mengembangkan pelayanan pada bukan anggota,
3) KSP/USP
dijadikan sebagai payung legal pelepas uang,
4) Tidak
pruden dalam memberikan pinjaman,
5) Kurang
memperhatikan aspek akuntabilitas dan transparansi.
Wakil Gubernur Jatim Drs. H. Saifullah
Yusuf mengusulkan adanya lembaga penjaminan simpanan (LPS) bagi anggota
koperasi yang dituangkan dalam Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Koperasi.
LPS ini dirasa penting dan cocok untuk meningkatkan kinerja koperasi. Lembaga
penjaminan yang dimaksud seperti yang diterapkan di dunia perbankan (Humas
Setda Prov. Jatim, 2011).
Kendati demikian bila koperasi juga
memerlukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana perbankan, maka timbul
pertanyaan siapa yang harus mempersiapkan pendanaannya? Gerakan koperasi atau
Pemerintah? Kalau pemerintah yang harus menyiapkan maka ketergantungan koperasi
pada pemerintah nampak sangat kuat. Padahal koperasi didorong untuk mandiri, seperti
halnya lembaga keuangan lainnya. Namun setidaknya dalam rangka pembinaan,
karena koperasi masih belum dinilai mampu, maka LPS koperasi ini dapat dibentuk
dan diprakarsai oleh pemerintah. Agar tidak terlalu membebani pemerintah, maka
diperlukan peran serta Gerakan Koperasi melalui IKSP dalam pengelolaan LPS.
- Peranan Pemerintah dalam Melindungi
Dana Simpanan Anggota Koperasi
Ketika isu tentang LPS koperasi dan
revisi undang-undang perkoperasian masih menjadi perdebatan, maka dengan
perangkat yang ada pemerintah (Kementerian Koperasi dan UKM maupun
Disperindagkop setempat/ wilayah) dituntut melakukan optimalisasi peran dan
fungsinya untuk mencegah terjadinya kasus-kasus penggelapan dan penipuan dalam
tubuh koperasi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 7 dinas koperasi di 5 kota
di Jawa Timur, peneliti memperoleh informasi yang beragam tentang kiat-kiat
pemerintah daerah dalam mengupayakan perlindungan dana anggota koperasi. Secara
umum pemerintah, khusunya yang ada di daerah melalui dinas koperasi melakukan
upaya sebagai berikut:
1) Melakukan
optimalisasi pembinaan koperasi
Dinas koperasi di daerah berupaya untuk
melakukan pembinaan secara periodik kepada koperasi-koperasi yang ada dengan
mensosialisasikan informasi agar koperasi tetap berpijak pada prinsip-prinsip
koperasi. Dalam kenyataan di lapangan fungsi ini sudah berjalan tapi belum
optimal. Dinas koperasi umumnya hanya dianggap simbolisasi formalitas belaka.
Oleh sebab itu fungsi pembinaan harus benar-benar dijalankan secara progresif.
Dinas koperasi perlu aktif untuk mengadakan pertemuan-pertemuan, diklat,
seminar dan kunjungan pada koperasikoperasi yang ada. Semakin seringnya ada
pertemuan pembinaan, maka akan semakin banyak informasi yang didapat oleh
pengurus dan pengelola, bahkan oleh anggota koperasi. Selain itu banyak masalah-masalah
koperasi yang dapat didiskusikan, termasuk dalam hal penggunaan dana anggota
koperasi secara sehat dan transparan.
2) Mengoptimalkan
fungsi fasilitator
Dinas koperasi didaerah harus siap
kapanpun dan dimanapun untuk menjadi fasilitator kegiatan koperasi. Fungsi
fasilitator yang nyata adalah sebagai saksi ahli dalam persidangan untuk
kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota. Namun pertanyaannya adalah apakah
personel dinas koperasi sudah cukup capable untuk menjadi
fasilitator. Dalam kenyataannya hanya sedikit personel dinas koperasi yang
mampu menjadi saksi ahli dalam persidangan. Oleh sebab itu seiring perkembangan
perkoperasian, maka personel dinas koperasi harus terus meningkatkan kapasitas
dan pengetahuannya agar siap dan mampu menjadi saksi ahli dalam persidangan
kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota. Dengan demikian akan dimungkinkan
putusan pengadilan yang seadil-adilnya bagi anggota koperasi yang dirugikan.
Misalnya dalam hal keputusan pailit koperasi dan lelang aset bagi anggota
kreditur koperasi.
3) Memperketat perijinan
pendirian koperasi
Dinas koperasi di daerah berwenang
memberikan ijin pendirian koperasi. Selama ini ijin diberikan dengan mudah
dengan harapan bahwa koperasi akan tumbuh subur dan mampu menjalankan roda
perekonomian daerah dan berimbas langsung pada kesejahteraan masyarakat kecil.
Namun kemudahan perijinan ini juga dilematis, karena di sisi lain akan
berpotensi terjadi “koperasi jadi-jadian” yang hanya sebagai kedok bagi praktik
rentenir, lebih-lebih bila berakhir pada kasus penggelapan dana anggota. Oleh
sebab itu kemudahan perijinan koperasi, khususnya KSP/USP harus
mempertimbangkan aspek jaminan perlindungan dana anggota. Dinas koperasi perlu
menerapkan kehati-hatian dan kejelian apakah sebuah koperasi layak untuk diijinkan
berdiri dan beroperasi. Untuk menekan risiko, maka modal penyertaan dan aset
koperasi sedapat-dapatnya ditetapkan dalam jumlah besar. Setidaknya bila
terjadi kasus likuiditas, maka modal pernyertaan dan aset dapat mencukupi
pengembalian dana anggota.
4) Membentuk
Komisi Pengendalian Koperasi Simpan Pinjam (KPKS)
Secara khusus, pemerintah propinsi Jawa
Timur telah membentuk KPKS melalui SK Gubernur Jawa Timur guna mengawasi dan
mengendalikan KSP/USP yang ada di Jawa Timur. Walaupun berkekuatan hukum
terbatas pada tingkat propinsi, namun peran KPKS diharapkan dapat menjadi titik
terang bagi terbentuknya iklim KSP/USP yang lebih sehat di masa mendatang.
Permasalahannya tinggal bagaimana wujud nyata peran KPKS di kabupaten/kota,
apakah KPKS mampu menjalankan fungsinya dengan profesional, netral dan
transparan. Sejauh ini hal tersebut belum tampak, sebab KPKS memang baru
dibentuk setahun terakhir. Harapan yang besar terhadap KPKS seyogyanya dapat
diresponi oleh pemerintah dengan membuat terobosan perlindungan dana anggota
melalui perwujudan koperasi yang sehat dan produktif.
5) Menumbuhkan
Kemandirian Koperasi
Kemandirian dalam hal ini tidak hanya
menyangkut kemandirian dalam penggalangan dana, tetapi juga kemandirian untuk
mengatasi masalah-masalah intern koperasi, namun apabila tidak terselesaikan
maka koperasi dapat menempuh proses sesuai hukum yang berlaku. Dalam hal ini
peran Rapat Anggota Koperasi sangatlah besar untuk membahas masalah intern
dalam tubuh koperasi dan merumuskan solusi bersama.
Nama
: Ani Puji Lestari
NPM/
Kelas : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan
: Ekonomi/Akuntansi
Tahun
: 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar