Review 4 : Penutup
Strategi Koperasi dalam Menghadapi
Iklim
Usaha yang Kurang Kondusif
Oleh :
Slamet
Subandi*)
Infokop
Volume 16 - September 2008 : 102-125
- Penutup
Dengan memperhatikan berbagai karakter dan potensi
koperasi terutama dalam hal ketahanannya menghadapi kondisi perekonomian
nasional yang belum berpihak kepada kelopok miskin maka sudah sepatutnya
koperasi lebih diberdayakan. Kepentingan pemberdayaan koperasi terkait dengan
penggunaan modal, penggunaan bahan baku lokal, serta kemampuan penyerapan
tenaga kerja. Oleh karena itu maka dalam rangka mengatasi masalah pengangguran
dan kemiskinan pemberdayaan koperasi menjadi salah satu opsi yang perlu
diperhitungkan. Dari pemikiran yang demikian idealnya pendekatan pembangunan
sekarang ini diarahkan pada usaha mempercepat proses pemberdayaan koperasi.
Untuk mengimplementasikan konsepsi tersebut dalam bentuk program-program nyata
diperlukan adanya komitmen politik yang kuat dari semua kalangan, dengan
menghilangkan terlebih dahulu kepentingan politis, kelompok, maupun kedaerahan.
Langkah kearah ini memerlukan kemampuan untuk memberikan keyakinan kepada para
pengambil keputusan agar lebih berpihak kepada koperasi sebagai lembaga
perekonomian rakyat. Namun demikian, sejauh tidak adanya proses komunikasi politik
yang langsung dibangun dan ditumbuhkan oleh para pengambil kebijakan di pusat
dan di daerah yang berdedikasi untuk memberdayakan koperasi, maka mustahil bagi
koperasi untuk dapat berdiri sejajar dengan perusahaan besar.
Sejalan dengan keinginan diatas perlu diperhatikan
bahwa empat sektor utama yang menjadi basis usaha koperasi sekarang ini adalah
sektor pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Keempat sektor tersebut
dalam menghadapi pasar global yang sangat kompetitif terutama dua sektor yang sangat
krusial adalah Industri dan perdagangan. Kedua sektor ini menjadi begitu
penting karena dalam era globalisasi mendatang tantangan berat yang dihadapi
adalah merubah orientasi pembangunan, dari orientasi pemenuhan kebutuhan dalam
negeri ke usaha menghadapi persaingan pasar. Dalam kondisi yang demikian
ternyata iklim usaha di dalam negeripun belum mendukung pemberdayaan koperasi.
Hal ini di indikasikan dari sulitnya menperoleh pinjaman modal dan mendapatkan peluang
usaha pada kegiatan bisnis tertentu seperti dalam penyaluran pupuk dan sembako.
Secara umum dapat dikatakan bahwa gambaran kondisi
iklim usaha koperasi pada saat ini, dilihat dari peluang pemberdayaan UMKM dari
waktu ke waktu, tempat ke tempat, dan sektor ke sektor belum mengindikasikan besarnya
harapan pada kelompok usaha tersebut untuk pendukung tumbuhnya sistem
perekonomian yang berkeadilan. Pemberdayaan koperasi memang sudah menjadi
komitmen nasional dalam rangka mewujudkan keadilan pembangunan, karena koperasi
memiliki potensi yang sangat besar untuk mendukung pemerataan pembangunan baik
antar sektor, antara golongan maupun antar daerah. Kondisi iklim usaha yang
diwarnai oleh masalah-masalah seperti dikemukakan diatas, tetap belum mampu
untuk menjadikan koperasi sebagai basis pembangunan daerah yang sekaligus
mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Dampak dari adanya permasalahan
tersebut terlihat nyata dalam bentuk, a) Rendahnya produktifitas koperasi yang
berdampak pada timbulnya kesenjangan antara koperasi dengan usaha besar,
b)Terbatasnya akses koperasi kepada sumberdaya produktif seperti permodalan
teknologi dan pasar dan, c) Marjinalisasi dari kelompok ini baik dari aspek
skala usaha, teknologi, informasi dan pendapatan mereka.
Ketiga dampak masalah yang mewarnai proses
pemberdayaan koperasi tersebut pada hakekatnya merupakan dampak dari kebijakan
makro ekonomi yang merupakan derivasi dari sistem perekonomian yang selama
lebih dari empat puluh tahun mendewakan pertumbuhan. Konsepsi perekonomian yang
dimotori oleh kelompok pengusaha besar tersebut mencerminkan kepercayaan dari
para pengambil kebijakan terhadap mekanisme pasar yang dapat mendistribusikan marjin
secara proporsional diantara komponen-komponen sistem dalam sistem perekonomian
liberal. Pemikiran Adam Smit yang mengilhami pengikutpengikutnya dan
dimordernisir oleh Schumpeter (1934) ini ternyata masih menjadi phobia bagi
sebagian besar negara berkembang (termasuk Indonesia) dalam merancang sistem
perekonomiannya. Kepercayaan yang berlebihan pada Strategi Koperasi Dalam paham ekonomi neoklasik yang sekarang telah
berubah menjadi ultraneoklasik, tidak saja telah melahirkan konglomerasi tetapi
juga telah membangun situasi perekonomian yang diwarnai berbagai ketimpangan
yang antara lain adalah memburuknya iklim usaha bagi koperasi. Hal yang
demikian juga terindikasi dari sangat tidak wajarnya rasio antara rata-rata
pendapatan perkapita dengan angka kemiskinan.
- DAFTAR
PUSTAKA
Anonimous, (1992). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian.
Departemen Koperasi, Ditjen Bina Lembaga
Koperasi, Jakarta.
Anonimous, (2003). Grand
Strategi Pengembangan Sentra UKM. Kementrian
Koperasi dan UKM RI,
Jakarta.
Anonimous, (2003). Pengkajian
Dukungan Finansial dan Non Finansial Dalam
Pengembangan Sentra
bisnis Usaha Kecil dan Menengah. Kerjasama
Kementrian Koperasi dan
UKM dengan BPS, Jakarta.
Anonimus, (2007). Statistik
Koperasi Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
Yudhoyono S. B.,
(2004). Terapkan Ekonomi Terbuka. Bisnis Indonesia. Kamis
21 Oktober 2004.
Kewirausahaan Indonesia
dengan Semangat, (1995). Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 4 Tahun
1995 Tentang Gerakan Nasional
Memasyarakatkan dan
Membudayakan Kewirausahaan.
McGrath,
Rita Gunther, Ian C. MacMillan, Sari Scheinberg, (1993), “Elitist,
Risktakers,
and Rugged
Individualsts? An Explatory Analysis of Cultural
Dofferences Between
Antrepreneurs and Non-Entrepreneurs”. Journal
of Business Venturing,
7(2).
……………., (2004). Pedoman
Penumbuhan dan Pengembagan Sentra Usaha
Kecil dan Menengah.
Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.
Nama : Ani Puji Lestari
NPM/
Kelas : 20211909/2EB09
Fak./Jurusan : Ekonomi/Akuntansi
Tahun : 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar